Kamis, 07 Juli 2016

Alloh Yarham

Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rojiun.
Alloh SWT memanggil pulang ke khadiratnya sebagai bentuk kasih sayang Robb Semesta Alam kepada penulis blog ini. DR. Nusa Putra, S.Fil, M.Pd.
Beliau menyelesaikan misi suci di dunia pendidikan pada Kamis, 7 Juli 2016, Pukul 04.20 di R.S Persahabatan, Jakarta Timur.
Semoga Alloh SWT mengampuni dosa, merahmati dan memaafkan beliau serta keluarga yg ditinggalkan mendapat ketabahan atas ujian ini. Amiin.

Kamis, 02 Juni 2016

NEUROSAINS DAN PENDIDIKAN (5)

(Catatan kaki untuk Prof. H. A. R. Tilaar, M. Sc., Ed.)

Indonesia diramaikan banyak tokoh. Tokoh-tokoh itu memiliki perhatian dan menonjol dalam bidang tertentu, namun juga berjasa dalam bidang-bidang yang lain. Kenyataan ini sejajar dengan fakta bahwa manusia hakikinya adalah makhluk multidimensi. Dewasa ini Gardner memperkenalkan istilah kecerdasan majemuk untuk menegaskan keberagaman kecerdasan yang dimiliki manusia.

Thomas Arsmstrong dalam The Power Of Neurodiversity: Unleashing The Advantages Of Your Differently Wired Brain (2010) menegaskan bahwa manusia memiliki potensi sangat besar untuk mengembangkan pelangi kecerdasan (The Rainbow of Intelligences). Kecerdasan yang sangat beragam. Pengembangan pelangi kecerdasan itu lebih ditentukan oleh upaya-upaya yang sistematis melalui berbagai cara, salah satunya melalui pendidikan formal.

Sukarno misalnya, ia adalah tokoh politik terkemuka selama perjuangan kemerdekaan dan pada awal kemerdekaan.  Tetapi kita semua tahu ia juga seorang arsitek, ideolog, penulis dan orator luar biasa. Tulisan-tulisan Sukarno menunjukkan tingkat kecerdasan yang tinggi, serta pengetahuan yang luas dan mendalam.

Dalam Indonesia Menggugat misalnya, Sukarno berhasil mengangkat realitas penindasan yang dilakukan penjajah Belanda sekaligus tuntutan sebuah negara merdeka yang mandiri. Tulisan itu sekaligus menunjukkan Sukarno adalah pejuang yang sangat cerdas, berkomitmen dan visioner. Begitupun M. Hatta. Ia politikus dan ahli ekonomi sekaligus. Tulisan-tulisannya tentang koperasi sungguh sangat inspiratif.

Kita bisa membuat beragam kategori terkait dengan tokoh-tokoh Indonesia paling terkemuka. Meskipun kategori itu tidak bisa dirumuskan secara sangat ketat, seperti mengatakan bahwa Sukarno hanya tokoh politik. Dengan cara pengkategorian ini kita bisa mencatat tokoh-tokoh terkemuka Indonesia yaitu tokoh perjuangan kebangkitan nasional dan pergerakan kemerdekaan seperti  Soetomo, Cokroaminoto,  Wahidin Soedirohoesodo, Samanhoedi, Cipto Mangunkusumo, Hasyim Ashari, Ahmad Dahlan, Semaoen, Muhammad Husni Thamrin, Sukarno, Hatta, Syahrir,  Tan Malaka, Amir Sjarifuddin, M. Yamin,  Wahid Hasyim, J. Leimena, Kartini, M.W. Maramis, Dewi Sartika dan banyak tokoh lain.

Dalam bidang sastra dan budaya ada sejumlah nama seperti Marah Rusli, Haji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA),  Armijn Pane, Sutan Takdir Alisyahbana, Achdiat Karta Mihardja, Amir Hamzah, Trisno Sumardjo,  H.B. Jassin, Idrus, Mochtar Lubis,Chairil Anwar, Pramoedya Ananta Toer, dan Iwan Simatupang.

Seni rupa Indonesia diramaikan antara lain oleh Raden Saleh, Affandi, Basuki Abdullah, Hendra Gunawan, Dullah, Otto Djaya, Soedjojono, Soenaryo, I Nyoman Gunarsa, Cokot, I Nyoman Nuarta, dan Heng Ngantung.

Nama-nama yang disebut di atas hanyalah sebagian saja dari banyak tokoh yang telah memberi sumbangan sangat berharga bagi negara bangsa ini. Nama-nama ini bisa ditambahkan dengan nama-nama Pahlawan Nasional yang melakukan perlawanan terhadap penjajah Belanda sebelum era kebangkitan nasional seperti Tjut Nya Dien, Teuku Umar, Panglima Polim, Teuku Cik Ditiro, Imam Bonjol, Sisingamangaraja XII, Sultan Badaruddin, Pangeran Diponegoro, Pangeran Jayakarta, Sultan Agung, Sultan Hasanuddin, Pangeran Antasari, dan Pattimura.

Penyebutan banyak nama ini terkait dengan implikasi filosofis dari uraian panjang dalam Neurosains dan Pendidikan (4). Ditegaskan dalam tulisan tersebut bahwa beragam temuan penelitian dalam neurosains bisa diolah untuk merumuskan Pendidikan Indonesia Akar Indonesia.

Bukan merupakan tindakan yang berlebihan bila kita mengembangkan model Pendidikan Indonesia Akar Indonesia. Pastilah model ini tidak menutup mata dan mengabaikan apa pun yang terbaik dari mana pun. Namun, menjadikan sejarah, budaya, tradisi, konteks sosial, dan karakter kita sebagai negara bangsa menjadi akar dan sumber untuk merumuskan Pendidikan Indonesia. Tentu saja semua yang merupakan akar keindonesiaan itu harus dikaji dengan semangat kritis. Jadi ada proses memilah, memilih, dan mengolah.

Pendidikan Indonesia Akar Indonesia bukanlah upaya untuk merumuskan gagasan pendidikan yang berakar pada bumi, budaya, dan tradisi Indonesia dan menolak semua yang datang dari luar. Tetapi mencaritemukan bagaimana para tokoh yang telah disebutkan di atas tumbuh kembang dalam konteks budaya Indonesia sehingga mencapai prestasi sangat tinggi yang membuat negara bangsa ini berdiri, merdeka dan bertahan.

Pencaritemuan ini dimungkinkan sebab dalam Neurosain dan Pendidikan (4) telah diurai bagaimana lingkungan fisik, dan sosiokultural memengaruhi otak, kemudian bagaimana pikiran yang diolah di dalam otak memengaruhi secara bermakna otak, perilaku manusia dan manusia dalam keutuhannya.

Artinya ada kala lingkungan fisik dan sosiokultural memengaruhi dan ikut memberi corak pada otak, dan ada saat bagaimana pikiran memengaruhi otak serta melampauinya. Maknanya, pada kala manusia tumbuh mekar terjadi interaksi dialektis antara otak dan pikiran. Dialektika itu memiliki kaitan langsung dengan konteks sosial budaya dimana manusia itu tumbuh mekar. Warna lokal, pastilah memberi corak yang sangat bermakna.

Banyak hal menarik yang bisa dijadikan bahan kajian untuk merumuskan Pendidikan Indonesia Akar Indonesia jika kita menalaah tumbuh mekar tokoh-tokoh itu dan pendidikan yang mereka jalanani. Beberapa kemenarikan itu adalah, pada umumnya dalam usia yang sangat muda, pada kisaran dua puluh sampai tiga puluh tahun, mereka telah menjadi tokoh yang relatif jadi.

Artinya mereka sudah diperhitungkan oleh lingkungannya, bahkan oleh penjajah Belanda. Bukan saja karena pikiran-pikirannya yang sangat maju, visioner, bahkan revolusioner. Sikap, perilaku dan karakternya pun telah menunjukkan kematangan.

Cokroaminoto sudah sangat berperan dalam pergerakan pada usia 30 tahun. Sementara Sukarno yang pernah menjadi murid dan tinggal di rumah Cokroaminoto sudah sangat berperan dan diperhitungkan pada usia 25. Pada umumnya para tokoh perjuangan itu telah berkiprah dan diperhitungkan  pada saat usianya dua puluh sampai tiga puluhan.

Barangkali konteks sosial pada waktu itu yaitu berada dalam tekanan dan penderitaan karena penjajahan mendorong mereka untuk berpikir dan bekerja keras melakukan perlawanan. Apalagi penjajah bersikap sangat keras pada orang Indonesia yang melakukan perlawanan dalam bentuk apapun.

Meskipun perdebatan tentang pengaruh hereditas dan lingkungan, atau natur dan nurtur masih berlangsung hingga kini. Tampaknya tidak dapat dibantah bahwa pengaruh lingkungan atau konteks sosial memang sangat menentukan.

Diane A. Papalia dan Ruth Duskin Fieldman menjelaskan pada buku Menyelami Perkembangan Manusia (2015: 11-16) bahwa manusia adalah makhluk sosial. Akibatnya dalam perkembangannya terdapat konteks perkembangan yang terdiri dari keluarga, status sosial ekonomi, dan lingkungan sekitar, budaya dan ras/etnis, serta konteks historis.

Dalam kaitannya dengan konteks historis, apa yang dialami para tokoh itu sangat khas dan rasanya tidak akan terulang kembali yaitu hidup, tumbuh mekar pada zaman penjajahan. Pastilah mereka mengalami beragam bentuk penghinaan, penindasan, ketidakadilan, kesewanang-wenangan yang pasti dapat membangkitkan semangat perlawanan dan gairah untuk berjuang dalam kebersamaan. Dapat dipastikan bahwa konteks historis itu memberikan sumbangan sangat besar bagi tumbuh kembang para tokoh itu.

Hannah S. Locke and Todd S. Braver dalam Motivational Influence on Cognitive Control: A Cognitive Neuroscience Perspective yang terdapat dalam buku Self Control in Society, Mind, and Brain ( Ran R. Hassin, Kevin N. Ochsner, Yacoov Trove eds., 2010) menegaskan bahwa kondidi atau konteks sosial yang spesifik atau khusus memang potensial untuk membentuk kepribadian seseorang menjadi khusus pula.

Sebagai suatu contoh lain yang menunjukkan bagaimana konteks sosial sangat berpengaruh terhadap kepribadian adalah bagaimana sikap dan kepribadian manusia Eropa saat Nazi berkuasa. Mereka berada dalam ketakutan yang sangat, kekurangan makanan, dan merasa hidup dalam ketidakpastian. Begitu takutnya, sampai-sampai saat Jerman bersatu, rasa takut itu muncul kembali, padahal peristiwanya sudah berlalu puluhan tahun. Berikut ini laporan Deutche Welle.

20 tahun setelah reunifikasi Jerman, banyak negara tetangga Jerman yang tidak lagi memperhatikan perbedaan antara Jerman Timur dan Jerman Barat. Jerman dipandang sebagai jangkar stabilitas di Eropa.
Mantan Kanselir Helmut Kohl harus menghadapi sikap skeptis dari mitra-mitra Eropa Baratnya ketika meinginginkan untuk mewujudkan rencana penyatuan Jerman secepatnya. Tidak saja Inggris, tapi juga Perancis dan Belanda mempertanyakan, apakah Jerman yang lebih besar akan tetap damai dan akan bergabung dalam Perhimpunan Eropa dan NATO?
Untuk menepis kekhawatiran rekan-rekannya, kala itu Helmut Kohl menyatakan, "Jerman yang bersatu tidak akan kembali ke Eropa masa lalu. Rivalitas dan nasionalisme lama tidak boleh hidup kembali."
Tahun-tahun setelah penyatuannya kembali, Jerman berusaha keras untuk mengakhiri perpecahan di seluruh Eropa. Diterimanya negara-negara bekas Blok Timur dan negara-negara Balkan ke dalam Uni Eropa serta NATO, adalah tujuan terpenting politik luar negeri Jerman. Negara tetangga yang mulanya merasa skeptis seperti Perancis, akhirnya yakin, tidak ada lagi yang merasa takut terhadap Jerman, demikian Alfred Grosser, pakar politik dan penulis di Paris.
Sementara itu, setelah pengakuan garis Oder-Neiße sebagai garis batas Jerman di Timur, pada tahun 1990-an hubungan dengan negara tetangga terbesar Polandia di Timur juga lebih lunak. Duta Besar Polandia di Jerman kala itu Janusz Reiter, sekarang menarik neraca, "Jerman yang besar kini bukan lagi alasan bagi tetangga-tetangganya untuk merasa takut."
Tapi rasa curiga terhadap Jerman masih dimiliki banyak warga Polandia, demikian pendapat penulis Polandia Andrzej Stasiuk. Warga Polandia senang bekerja di Jerman, meski demikian bukan negara pilihan untuk tempat berlibur.
Di Ceko kecurigaan terhadap Jerman baru teratasi akhir tahun 1990-an, setelah pemerintahan kedua negara dalam sebuah pernyataan bersama membahas secara terbuka luka-luka di masa lalu, dampak perang, pengejaran dan pengusiran.

Dibutuhkan waktu dua puluh tahun setelah penyatuan, Jerman diterima oleh masyarakat Eropa. Itupun masih ada negara-negara yang warganya ketakutan. Inilah contoh nyata bahwa konteks sosial yang khusus, sangat potensial membentuk kepribadian manusia yang khas atau khusus pula.

Jika para tokoh terkemuka Indonesia tumbuh mekar dalam konteks sosial dan historis yang khusus dan membuat mereka menjadi pribadi-pribadi yang hebat, apa yang dapat kita lakukan pada masa kini?

Negara melalui Pemerintah memiliki kewajiban untuk mengusahakan kondisi makro keindonesiaan dan kondisi mikro yaitu dunia pendidikan menjadi kondisi yang kondusif bagi tumbuh mekarnya generasi muda yang sesuai dengan rumusan Undang-undang Dasar dan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional.

Setidaknya Pemerintah harus menunjukkan kesungguhan untuk melindungi generasi muda dari serbuan narkoba, pornografi, radikalisme dan penyimpangan perilaku seperti LGBT. Tentu saja tidak cukup bila pemerintah bersibuk diri dengan membuat lebih banyak peraturan, namun pelaksanaanya jauh dari harapan.

Konteks sosial yang diramaikan oleh perilaku koruptif yang dilakukan oleh para pejabat juga harus diperangi dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian generasi muda memiliki keyakinan bahwa ia hidup dan tumbuh mekar di negara yang membanggakannya.

Pemerintah tidak membiarkan media massa terutama televisi menayangkan tontonan sampah. Dalam hal ini Pemerintah perlu bertindak tegas. Jangan membiarkan generasi muda dirasuki dan dirusaki oleh berbagai tontonan yang hanya menyesaki otak dengan sampah.

Bila kita telaah dengan cermat, generasi Cokroamonoto dan Sukarno menjadi orang-orang terkemuka karena tumbuhnya rasa bangga, rasa cinta, dan rasa memiliki Indonesia. Untuk mewujudkan itu mereka rela melakukan apapun yang terbaik.

Pertanyaan penting sekarang ini adalah, apakah kita, terutama Pemerintah mampu menanamkan rasa bangga, rasa cinta, rasa memiliki Indonesia terutama pada generasi muda? Pada masa lalu rasa bangga, rasa cinta dan rasa memiliki Indonesia telah menjadi daya dorong Kebangkitan Nasional, dan Proklamasi Kemerdekaan. Pendidikan Indonesia Akar Indonesia pertama-tama harus mampu membangkitkan rasa bangga, rasa cinta, dan rasa memiliki Indonesia!

Dengan rasa bangga, rasa cinta, dan rasa memiliki Indonesia, generasi muda termotivasi untuk berkreasi, berprestasi dalam segala bidang bagi kejayaan Indonesia. Dengan demikian indonesia sebagai negara bangsa bukan saja akan terus bertahan, tetapi maju dan terkemuka.

Tidak ada salahnya kita belajar dari Orde Baru. Rezim ini tampaknya menyadari betul bahwa remuknya Indonesia saat Orde Lama berkuasa antara lain karena pertarungan dan pertentangan ideologi yang sangat keras. Saat itu di Konstituante bertarung secara terbuka untuk menetapkan ideologi negara antara kaum agama, nasionalis dan komunis. Sukarno membuat dekrit dan membubarkan Konstituante agar pertentangan tidak berkelanjutan dan Indonesia kembali pada ideologi Pancasila.

Tampaknya pada tingkat masyarakat pertarungan dan pertentangan itu tidak berhenti dengan pembubaran Konstituante. Berbagai kekuatan politik terus melakukan manuver untuk mendapatkan kekuasaan dan memaksakan ideologinya. Inilah masa paling kelam dalam politik Indonesia. Para pejuang kemerdekaan yang tadinya bersatu padu untuk memerdekakan Indonesia, kini saling bertarung dan terjadi saling serang sampai saling bunuh. Baik menggunakan hukum atau serangan langsung. Pemberontakan pun merajalela dimana-mana. Ada Muso, Kartosoewirjo, Daud Beureueh, Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), Pemberontakan Rakyat Semesta (Permesta), Pemberontakan Republik Maluku Selatan ( RMS), dan Pemberontakan PKI yang menjatuhkan Pemerintahan Sukarno.

Atas dasar kenyataan sangat pahit itu, Orde Baru merancang pendidikan dan pengajaran cinta tanah air dan kesetiaan pada ideologi Pancasila. Dirancang dan dilaksanakan mata Pelajaran Pendidikan Moral Pancasila, Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa, pada tingkat mahasiswa ada mata kuliah Kewiraan yang sebagian besar pengajarnya adalah pensiunan TNI atau TNI aktif.

Di antara semua itu tentulah penataran P4 yang paling dahsyat dan populer. Harus diikuti warga negara saat masuk SD, SMP, SMA, PT, dan menjadi pegawai negeri. Sementara itu masyarakat umum juga diwajibakan mengikutinya. Namun, rasanya pendidikan ideologis yang penyelenggaraannya mirip indoktrinasi di negara-negara komunis itu kelihatannya tidak berhasil.

Anak muda memplesetkan P4 menjadi Pergi Pagi-pagi Pulang Petang-petang Pala Pusing-pusing. Padahal sejatinya P4 itu adalah Pedoman Pengamalan dan Penghayatan Pancasila.

Tampaknya Orde Baru memaksakan kehendak lebih jauh dengan mewajibkan Pancasila sebagai satu-satunya azas atau azas tunggal. Tragedi pembantaian kelompok Islam di Lampung dan yang lebih mengerikan di Tanjung Priok tidak dapat dilepaskan dari konsekuensi terburuk pemaksaan kehendak itu. Ujungnya rezim Orde Baru, sebagaimana rezim Orde Lama, hancur berantakan dengan tragis.

Artinya, pendidikan untuk membangkitkan rasa cinta, rasa bangga, rasa memiliki Indonesia dan kesetiaan pada ideologi Pancasila memang penting dan merupakan keniscayaan. Namun, cara-cara, metodologi dan substansinya janganlah untuk kepentingan memertahankan kekuasaan, pemaksaan tafsir tunggal, dan memaksa orang patuh dengan ancaman. Ketika dialog dilarang, perbedaan pendapat diharamkan, dan suara berbeda dihancurkan, maka rezim apapun dengan kekuatan apapun tak bisa bertahan.

Pendidikan yang bermaksud untuk melahirkan rasa cinta, rasa bangga, dan rasa memiliki Indonesia harus dibangun pada landasan memertahankan dan mengembangkan, serta memajukan Indonesia. Bukan sebagai alat untuk terus berkuasa sebagaimana yang dilakukan oleh Orde Baru. Kepentingan negara bangsa harus berada di atas kepentingan lain.

Terkait dengan tumbuh kembang para tokoh yang menjadi fokus utama kajian ini, perlu juga memerhatikan keluarga para tokoh itu. Pentingnya mencermati keluarga karena di dalam keluargalah manusia pertama sekali tumbuh kembang. Begitupun halnya dengan pendidikannya. Keluarga dan pendidikan merupakan wahana sangat penting bagi tumbuh mekar manusia.

Mei-Ling Hopgood dalam How Eskimos Keep Their Babies Warm: Parenting wisdom from around the world (2012) menyatakan bahwa tidak ada budaya yang bisa menyatakan bahwa model pengasuhannya merupakan yang terbaik. Setiap orang tua dalam semua kebudayaan mengiginkan dan mengusahakan pengasuhan terbaik bagi anak-anaknya. Merupakan fakta yang tidak terbantahkan bahwa model pengasuhan memberi pengaruh sangat besar bagi tumbuh kembang anak.

Cokroaminoto berasal dari keluarga terpandang. Kakeknya R.M. Adipati Tjokronegoro adalah Bupati Ponorogo dan ayahnya Raden Mas Tjokro Amiseno merupakan Wedana Kleco. Itulah sebabnya ia bisa bersekolah di OSVIA yang mempersiapkan anak-anak muda menjadi pegawai pemerintah. Ia pernah merasakan jadi pegawai pemerintah dan akhirnya keluar karena protes terhadap keharusan sembah jongkok. Intinya ia menolak praktik-praktik feodalisme, meski keluarganya masuk kelompok itu.

Muhammad Husni Thamrin adalah tokoh Betawi yang kemudian menjadi tokoh nasional. Ia blasteran. Ayahnya Belanda, bernama Tabri Thamrin dan wedana saat Johan Cornelis van der Wijck menjadi Gubenur Jendera, dan ibunya Betawi. Karena ayahnya meninggal saat masih kecil, Mohammad Thamrin dibesarkan oleh keluarga ibunya. Ia lulusan Gymnasium Koning Willem III School dan pernah bekerja di perusahaan Belanda. Ia pernah menjadi Wakil Walikota Batavia dan anggota Volksraad. Sebelumnya ia pernah menjadi anggota Gemeenteraad.

Ayah Sukarno adalah Raden Soekemi Sosrodihardjo seorang guru, ibunya Ida Ayu Nyoman Rai. Dari nama kedua orang tuanya sangat jelas bahwa Sukarno berasal dari keluarga terpandang. Sukarno menjalani pendidikan Belanda sejak sekolah dasar sampai mencapai gelar insinyur. Ia pernah tinggal di rumah Cokroaminoto bersama Semaoen, Muso, dan Alimin. Saat itu Cokroaminoto adalah tokoh utama pergerakan melawan penjajah Belanda.

Soedirman menjadi jenderal pada usia 31. Ia anak pasangan Karsid Kartawiuraji dan Siyem. Ia kemudian dibesarkan pamannya Raden Cokrosunaryo. Ia sekolah di Taman Siswa dan Sekolah Guru Muhammadiyah. Meski tidak tamat, ia sempat menjadi guru di lingkungan Muhammadiyah. Selama sekolah ia sangat aktif mengikuti kegiatan ekstrakurikuler. Sewaktu mengajar ia aktif mengikuti kegiatan kepanduan Hizbul Wathan.

Achmad Dahlan adalah putra pasangan K.H. Abu Bakar ulama yang menjadi khatib Masjid Besar Kesultanan Jogjakarta. Ibunya adalah puteri H. Ibrahim, penghulu Kesultanan Jogjakarta. Dahlan merupakan keturunan kedua belas dari Maulana Malik Ibrahim, salah seorang dari Wali Sembilan yang merupakan penyebar Islam di Jawa. Dahlan dua kali belajar ke Mekkah. Periode pertama saat berusia 15 tahun. Ia banyak belajar  pemikiran-pemikiran pembaru Islam yang sangat berpengaruh yaitu Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Ibnu Taymiyah, dan Al Afghani. Ia belajar selama lima tahun. Kemudian kembali lagi mukim dua tahun di Mekkah belajar pada Syeh Ahmad Khatib yang merupakan guru KH Hasyim Asy'ari yang mendirikan Nahdlatul Ulama.

Hasyim Asy'ari adalah putra Kyai Ashari dan Halimah. Kyai Ashari merupakan pemimpin pesantren, dan ibu Hasyim Asy'ari merupakan keturunan Sultan Pajang yang dikenal sebagai Jaka Tingkir. Asy'ari pada usia 13 sudah membantu ayahnya mengajar. Ia kemudian meninggalkan pesantren ayahnya untuk menimba dan memperdalam ilmu di banyak pesantren yaitu Pesantren Nggedang, Wonokoyo, Langitan, Trenggilis, dan Kademangan, serta Siwalan. Ia menunaikan haji ke Mekkah. Kemudian datang lagi ke Mekkah, menetap selama tujuh tahun dan belajar pada sejumlah ulama ternama yaitu Syaikh Ahmad Khatib Minangkabau, Syaikh Ibrahim Arab, Syaikh Said Yamani, Syaikh Mahfud At Tarmisi, Syaikh Soleh Bafadal. Syaikh Rahmaullah, Sayyid Husein Al Habsyi, Sayyid Abbas Maliki, dan Sayyid Alwi bin Ahmad As Saqqaf. Asy'ari memang pembelajar yang luar biasa.

Ki Hadjar Dewantara merupakan keturunan bangsawan. Ia cucu Pakualam III, dan anak GPH Soerjaningrat. Karena itu nama aslinya adalah Raden Soewardi Soerjaningrat. Karena putra bangsawan ia mendapat kesempatan menjalani pendidikan di sekolah dasar khusus untuk anak Belanda dan bangsawan yaitu ELS. Ia sempat masuk STOVIA perguruan tinggi kedokteran zaman Belanda tetapi tidak selesai karena sakit. Ia kemudian memilih menjadi jurnalis di sejumlah surat kabar ternama di antaranya De Expres, Oetoesan Hindia, dan Tjahaja Timur. Tulisannya yang tajam mengecam penjajah Belanda dan aktivitas politiknya membuat ia diasingkan. Selama masa pengasingan di Belanda ia mengikuti pendidikan hingga meraih ijazah bergengsi dalam pendidikan. Pulang ke tanah air ia mendirikan pendidikan kebangsaan Taman Siswa. Ia dikenal dengan prinsip pendidikannya yaitu,

Ing ngarso sung tulodo (di depan memberi contoh).
Ing madyo mangun karso, (di tengah memberi semangat).
Tut Wuri Handayani, (di belakang memberi dorongan).

Prinsip ini merupakan rumusan yang berakar pada budaya Indonesia yang dipraktikkan sejak dulu, dan secara sangat tepat dirumuskan oleh Bapak Pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara.

Muhammad Hatta telah yatim pada usia tujuh bulan, ayahnya Muhammad Djamil yang merupakn keturunan ulama meninggal. Ibunya Siti Saleha berasal dari keluarga pedagang. Ia menjalani pendidikan di sekolah swasta, kemudian pindah ke ELS dan lanjut ke MULO. Sebagaimana tradisi di kampung halamannya, Hatta tidak hanya menempuh sekolah formal, ia juga belajar agama pada ulama terkenal Muhammad Jamil Jambek, Abdullah Ahmad, juga sejumlah ulama lain. Ia aktif di Jong Sumatranen Bond. Hatta kuliah di Handels Hogeschool Belanda. Saat inilah ia semakin aktif berpolitik.

Sutan Syahrir adalah Perdana Menteri Indonesia pertama saat berusia 36 tahun. Ayahnya Mohammad Rasyad dan ibunya Putri Siti Rabiah. Ia sekolah dasar di ELS, dan MULO terbaik di Medan, serta AMS di Bandung yang merupakan sekolah menengah atas favorit dan termahal di Hindia Belanda. Ia melanjutkan studi di fakultas hukum Universitas Amsterdam. Syahrir dikenal sebagai politisi cerdas, humanis, dan demokratis.

Agus Salim adalah Menteri Muda Luar Negeri pertama dan Menteri Luar Negeri ketiga. Ia dikenal sebagai politikus yang brilian. Ia anak dari pasangan Soetan Salim dan Siti Zainab. Soetan Salim adalah Jaksa Kepala di Pengadilan Tinggi Riau. Agus Salim menjalani sekolah dasar di ELS ( Europeesche Lagere School). Sekolah ini merupakan sekolah dasar khusus untuk generasi muda Eropa, lalu meneruskan pendidikan ke HBS ( Hoogere Burgerschool) di Batavia. Agus Salim merupakan lulusan terbaik pada tingkat Hindia Belanda. Itu artinya ia mengatasi banyak anak Eropa. Ia sempat menjadi pembantu notaris di Indragiri, kemudian bekerja di Jeddah pada Konsulat Belanda. Ia menyempatkan diri belajar pada ulama terkenal yang merupakan pamannya Syeh Ahmad Khatib. Ia tertarik pada jurnalistik dan menjadi redaktur dan ketua redaksi Harian Neratja. Selanjutnya ia menjadi salah satu pimpinan Sarekat Islam.

Mohammad Natsir pernah jadi menteri dan perdana menteri. Ia putra Mohammad Idris dan Khadijah. Ia belajar di Sekolah Rakyat Maninjau sampai kelas dua. Selanjutnya di HIS (Hollandsch Inlandsche School) Adabiyah di Padang, hanya beberapa bulan. Kemudian pindah ke Solok, belajar di HIS siang hari, dan Madrasah Diniyah pada malam hari. Tiga tahun kemudian pindah lagi ke HIS Padang. Lalu lanjut ke MULO ( Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), lulus dan pindah ke Bandung untuk mengikuti pendidikan di AMS ( Algemeene Middlebare School). Ia pernah menjadi Ketua Jong Islamieten Bond Bandung. Kemudian berguru pada Ahmad Hassan pendiri Persatuan Islam, Cokroaminoto, dan Agus Salim. Ia pernah menjadi guru. Sampai zaman Orde Baru, Natsir tetap konsisten dengan keislaman, keindonesiaan, dan kekritisan. Apapun dilakukannya untuk kebaikan negara bangsa ini. Natsir adalah teladan terbaik politisi Indonesia.

Dalam usia 14, Semaoen sudah menjadi aktivis Sarekat Islam. Setahun kemudian ia bertemu Sneevliet tokoh sosial demokrat Belanda, dan masuk Indische Sociaal-Democatische Vereeniging yang merupakan organisasi sosial. Ia juga menjadi aktivis persatuan buruh kereta api. Ayahnya adalah tukang batu di jawatan kereta api. Namun Semaoen bisa bersekolah di Tweede Klass (khusus untuk pribumi kelas dua). Ia juga belajar bahasa Bekanda. Ia kemudian bekerja sebagai pegawai kecil di Staatsspoor Surabaya. Ia pindah ke Semarang menjadi propagandis persatuan buruh kereta api. Dalam waktu singkat Semaoen menjadi tokoh penting di kedua organisasi itu. Ia menjadi redaktur sejumlah harian. Tulisan-tulisannya tajam dan cerdas menyerang berbagai kebijakan penjajah. Ia juga anggota Dewan Pimpinan Sarekat Islam, dan Ketua Sarekat Islam Semarang. Kemudian berasama Alimin dan Darsono mendirikan Partai Komunis Indonesia karena berhasil memimpin sejumlah pemogokan. Meskipun pada mulanya Partai Komunis merupakan bagian dari Sarekat Islam, namun karena banyaknya perbedaan, akhirnya keduanya berpisah. Semaun kemudian pergi ke Moskow dan Tan Malaka menggantikannya sebagai ketua Partai Komunis Indonesia. Setahun di Moskow ia kembali jadi Ketua Partai Komunis Indonesia, namun tidak diterima di Sarekat Islam. Semaun gagal memimpin demonstrasi besar dan dibuang ke Belanda. Ia kemudian ke Uni Sovyet dan bermukim selama 30 tahun. Sempat belajar di Universitas Tashkent, aktif pada komite komunis internasional, menjadi warga negara Sovyet dan pengajar Bahasa Indonesia serta penyiar radio Moskow dalam Bahasa Indonesia. Kemudian diberi jabatan pimpinan Badan Perancang Negara Tajikistan oleh Stalin. Pada 1953 pulang ke Indonesia dan sempat mengajar di Universitas Pajajaran Bandung untuk mata kuliah ekonomi.

Amir Syarifuddin adalah putra pasangan Djamin Baginda Soripada Harahap dan Basunu Siregar, yang merupakan keluarga Mandailing atau Batak Selatan beragama Islam. Ayahnya keturunan pemangku adat dan seorang jaksa. Amir besar di Medan. Sekolah dasar ELS tamat 1921 dan 1926 ke Leiden Belanda melanjutkan pendidikan, hanya setahun. Di Belanda ia mukim di rumah guru Kristen Calvinis Dirk Smink. Ia kembali ke Indonesia dan dibaptis sebagai seorang Kristen. Amir adalah Perdana Menteri Indonesia kedua. Ia dieksekusi mati karena dituduh terlibat pemberontakan komunis 1948 yang dipimpin Muso. Amir dianggap tokoh paling kontroversial. Pada mulanya Islam, menjadi Kristen, lalu muncul sebagai tokoh dan pimpinan komunis dan meninggal sambil memeluk Injil.

Tan Malaka adalah tokoh pergerakan yang paling kontroversial dan misterius. Bukan saja peran dan sumbangsihnya dalam proses pencapaian kemerdekaan yang diperdebatkan. Bahkan kematian dan makamnya masih menjadi kontroversi. Ia merupakan putra pasangan Rasad Caniago dan Sinah Sinabur. Belajar di Kweekschool Bukit Tinggi dan Rijks Kweekschool di Haarlem, Belanda. Seperti Sukarno dan Sudirman, ia pernah menjadi guru di daerah perkebunan Deli Serdang yang dekat dengan Medan. Ia merupakan pejuang yang gigih menentang penjajah dan menolak strategi kooperatif yang dilakukakan Sukarno  terhadap Jepang, dan Syahrir saat menjadi Perdana Menteri dengan Belanda. Berbeda dari para pejuang lain, Tan Malaka melakukan banyak perjalanan di Asia dan Eropa untuk melawan penjajahan selama 30 tahun. Ia sering disejajarkan dengan Ho Chi Minh dari Vietnam dan Jose Rizal asal Filipina. Bukunya Madilog, meski terus menerus dilarang masih dibaca banyak orang sampai kini.

S.M. Kartosoewirjo adalah anak mantri yang mengatur para pedagang candu bernama Kartosoewirjo. Ia sekolah di ISTK ( Inlandsche School Tweede Klasse), lalu meneruskan ke ELS. Ia juga belajar agama dari tokoh Islam asal Muhammadiyah Notodiharjo. Selesai di ELS dia kuliah di NIAS (Nederlands Indische Artsen School) yaitu perguruan tinggi kedokteran. Ia masuk Sarekat Islam dan belajar pada Cokroaminoto dan diangkat menjadi sekretaris pribadi. Ia akhirnya dikeluarkan dari NIAS karena aktivitas politiknya.

Sebagian besar tokoh itu memang memiliki keluarga yang memungkinkan mereka menikmati sekolah moderen yang didirikan dan dikelola penjajah Belanda. Kebanyakan merupakan sekolah khusus untuk putra-putri Eropa dan pribumi kelas satu yaitu para pejabat dan keturunan raja. Artinya tidak setiap putra-putri pribumi bisa menikmati pendidikan moderen yang bagus.

Rasanya tidak sedikit putra-putri Indonesia yang bisa menikmati pendidikan tersebut kala itu. Namun, tidak semua mereka berani mengambil resiko untuk melakukan perlawanan terhadap penjajah karena pendidikan yang telah mengubah dirinya. 

Kita bisa menduga bahwa para tokoh itu sampai mengambil keputusan untuk menjadi bagian penting dari perlawanan terhadap penjajah dengan resiko dibuang bahkan dibunuh, merupakan hasil dari sejumlah interaksi. Interaksi di dalam keluarga, dalam pendidikan dan teman sebaya. Sebuah interaksi dialektis yang membuat mereka matang sebelum waktunya.

Christoper D. Frith and Daniel M. Wolpert eds. Dalam The Neuroscience of Social Interaction: Decoding, imitating, and influencing the action of others (2004) menegaskan sebagai makhluk sosial otak manusia memang memiliki potensi besar untuk melakukan interaksi sosial. Potensi itu akan mewujud jika manusia membangun interaksi dengan sesamanya, dan akan semakin dipertajam jika ia mampu melakukan interaksi dengan banyak orang yang berasal dari beragam budaya dan latar belakang.

Bila kita cermati dengan seksama perjalanan hidup para tokoh itu terjadi interaksi antara mereka yang seangkatan dan yang berbeda angkatan. Para tokoh kebangkitan nasional adalah orang yang saling kenal dan bahu-membahu dalam semangat kebersamaan untuk melakukan upaya-upaya membangun kesadaran masyarakat tentang pentingnya melawan penjajahan.

Cokroaminoto merupakan kawan seiring seperjuangan dengan para pendiri Budi Utomo. Ia juga guru bagi Semaoen, Alimin, Muso, Sukarno, Tan Malaka, M. Natsir, dan Kartosoewirjo yang merupakan angkatan di bawahnya.

Tokoh-tokoh ini kita ketahui memiliki anutan ideologi yang berbeda. Semaoen yang pernah menjadi salah seorang pimpinan Sarekat Islam akhirnya menjadi ketua pertama partai komunis Indonesia. Ia mendirikan Partai Komunis Indonesia bersama Alimin dan Darsono. Muso dan Tan Malaka juga penganut ideologi komunis. Sukarno adalah seorang nasionalis. M. Natsir dan Kartosoewirjo dikenal sebagai tokoh Islam. Muso dan Kartosoewirjo akhirnya berhadapan dengan Sukarno karena Muso dan Kartosoewirjo menjadi pemberontak.

Tampaknya keyakinan Sukarno untuk memasyarakatkan dan membangun politik Indonesia dengan semangat Nasakom yaitu Nasionalis, Agama, dan Komunis boleh jadi berakar pada pengalaman masa mudanya saat tinggal di rumah Cokroaminoto bersama teman-teman yang berbeda ideologi, namun tetap bisa berjuang bersama.

Apa yang dialami para tokoh ini dapat dijadikan sumber inspirasi bahwa dalam pendidikan dan pengajaran terutama dan yang utama adalah menananamkan nilai-nilai, bukan lewat pengajaran verbal, namun melalui praktik nyata dan keteladanan. Nilai-nilai yang terpancar adalah pentingnya kebersamaan, saling menghargai, dan kemampuan untuk berjuang bersama bagi kepentingan negara bangsa, melampaui kepentingan pribadi dan kelompok. Pendidikan nilai ini lebih penting dan utama daripada pembelajaran terkait dengan kemampuan-kemampuan teknis untuk sekadar bertahan hidup dalam masyarakat.

Salah satu kedahsyatan para tokoh itu adalah kemampuan mereka melampaui apa yang mereka dapatkan dalam pendidikan formal. Kemampuan mengejawantahkan ke dalam realitas keseharian pengetahuan dan kemampuan-kemampuan yang mereka pelajari.

Mungkin semangat untuk menanamkan nilai-nilai mulia itulah yang kurang mendapatkan perhatian dalam banyak keluarga, masyarakat dan pendidikan formal kita dewasa ini. Pendidikitan kita kini dalam praktiknya terlalu asyik dengan pengetahuan dan keterampilan teknis. Meskipun secara konseptual pentingnya penanam nilai agar menjadi bagian dari kepribadian para siswa telah disusun dan direncanakan dengan sangat baik. Salah satunya melalui pendidikan karakter.

Sangat penting menekankan pentingnya pendidikan bagi seluruh bangsa dari berbagai lapisan. Dari kisah hidup para tokoh terbukti pentingnya pendidikan. Tanpa pendidikan yang mereka jalanani, rasanya tidak ada Indonesia merdeka. Pendidikan terbukti mampu merubah, membentuk, memicu dan memacu para tokoh itu untuk melakukan transformasi total terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara, pendidikan menjadikan mereka manusia-manusia yang visioner, fokus, berani, kreatif, dan rela berkorban.

Menjadi tanggung jawab Pemerintah untuk menyelenggarakan pendidikan bermutu bagi semuan anak bangsa tanpa terkecuali. Sebagian besar tokoh itu dapat menikmati pendidikan bermutu yang dibangun dan dikelola penjajah. Namun saat itu akses pendidikan hanya dapat dinikmati oleh segelintir manusia Indonesia yang berasal dari keluarga terpandang. Kekecualian memang ada tetapi tidak banyak. Salah satu yang dapat disebut adalah Semaoen.

Dalam Indonesia merdeka diskriminasi seperti yang dilakukan penjajah tidak boleh terjadi. Pendidikan Indonesia Akar Indonesia harus memberi kesempatan dan akses yang sama kepada seluruh bangsa Indonesia, tanpa terkecuali. Merupakan kejahatan bila anak-anak Indonesia tidak dapat menikmati pendidikan bermutu karena berasal dari keluarga tak mampu.

Jika dilihat dari riwayat singkat para tokoh tampaknya Semaoen dan Sudirman berasal dari keluarga yang berbeda dengan kebanyakan tokoh lain. Namun, berkat kesungguhan akhirnya mereka mendapat kesempatan untuk menikmati pendidikan. Pastilah pendidikan itu didapatkan dengan sangat susah payah.

Oleh karena itu Pendidikan Indonesia Akar Indonesia harus mengusahakan secara maksimal pendidikan bermutu sebagai upaya untuk meningkatkan mutu manusia Indonesia. Tidak peduli apapun latar belakang sosio ekonominya.

Kita tidak boleh menyalahkan asal-usul pembelajar bila ia tidak berhasil. Apalagi dengan mengaitkan ketidakberhasilan itu dengan latar keluarga si pembelajar. Sejak dulu hingga kini, para pembelajar yang berasal dari keluarga-keluarga miskin yang kurang gizi dan kurang waktu untuk belajar karena harus membantu orang tua mencari nafkah, jika diberi kesempatan bisa memeroleh hasil gemilang.

Jangan pernah menyalahkan asal-usul si pembelajar. Apalagi sampai menggunakan gen sebagai penyebab kegagalan. Seringkali para pendidik yang tidak bijak akan mengatakan jika yang masuk sampah, yang keluar sampah. Orang yang berkata seperti itu sama sekali tidak pantas untuk menjadi pendidik.

Karena hakikinya pendidikan adalah upaya terencana yang terstruktur, tersistem, dan terukur untuk mengubah pembelajar menjadi kebih baik dalam sikap, sifat, perilaku dan keterampilan. Penelitian-penelitian mutakhir tentang gen semakin memperkuat temuan bahwa gen bisa diubah dan berubah. Bukan penentu dominan seperti yang selama ini diyakini.

Oliver James dalam Not In Your Genes: The Real Reason Children Are Like Their Parents (2016) menegaskan bahwa gen memberi corak secara terbatas, pengasuhan, cinta, kehangatan, pembelajaran lebih banyak mencoraki manusia. Lebih lanjut disampaikan (2016:4) bahwa,

The latest research cannot find genetic codes that significantly influence the tranmission of psychological characteristic from parents to child ( dribbling is in large part matter of psychology). Whether it be specific genes, groups of genes, or large numbers of variants, they have not been shown to play any important role in explaining our intelligence, personality or mental health.

Tampaknya gen lebih banyak berpengaruh pada aspek-aspek fisik dan penyakit-penyakit tertentu. Kecerdasan, kepribadian, bahkan kesehatan mental lebih banyak ditentukan oleh pengasuhan, pendidikan, dan lingkungan sosiokultural.

Oleh karena itu sebagai konsekuensinya adalah bagaimana menciptakan pola-pola asuh yang bermakna dalam keluarga, merancang dan mempraktikkan pendidikan yang memberi kesempatan bagi pembelajar untuk mengolah potensi dan kemungkinan-kemungkinannya untuk tumbuh kembang menjadi manusia unggul.

Juga sangat penting untuk mengarahkan perkembangan masyarakat ke arah yang mendukung tumbuh kembang manusia menjadi manusia yang dapat memberikan sumbangan terbaik seperti yang telah diteladankan oleh para tokoh yang disebutkan di atas.

Kazuo Murakami dalam The Divine Massage Of DNA (2007) menegaskan bahwa sikap dan lingkungan bisa mengubah gen. Pengalamannya pindah dari Jepang ke Amerika Serikat telah membuatnya berubah. Ini terjadi karena tradisi dan lingkungan universitas yang sangat berbeda antara di Jepang dan Amerika Serikat.

Kazuo Murakami dalam Switch: Mengaktifkan Saklar Positif Gen untuk Mengubah Hidup Anda (2016) menegaskan kembali apa yang telah diungkapkannya dalam buku sebelumnya bahwa yang menyalakan saklar gen adalah "lingkungan" yang bervariasi. Ia menambahkan keadaan lingkungan hati dapat mengubah perilaku gen.

Tambahan dari Murakami yaitu selain lingkungan yang bervariasi, sikap dan lingkungan hati pun dan mengubah perilaku gen. Bila kita telaah lebih rinci tampaknya sikap berani dan konsisten para tokoh yang riwayat hidupnya telah disajikan, benar-benar telah mengubah mereka menjadi manusia yang berbeda dari manusia kebanyakan pada zamannya.

Semua mereka pernah mengalami perlakuan negatif dari penjajah. Namun, mereka bersikap positif menghadapinya. Tidak menyerah, tetapi memanfaatkan perlakuan negatif seperti pemenjaraan dan pembuangan sebagai kesempatan untuk menambah pengetahuan, keterampilan, dan jaringan memperluas barisan perlawanan.

Kebanyakan mereka memanfaatkan pembuangan ke Belanda untuk menambah pengetahuan dan membangun organisasi gerakan untuk mendapatkan dukungan internasioal. Pembuangan ke berbagai tempat juga kelihatannya membuat mereka mengalami hidup dan tumbuh dalam lingkungan yang bervariasi.

Bila pembuangan itu di dalam negeri, mereka memanfaatkannya untuk lebih memahami budaya lokal dan membangun jaringan. Jika ke luar negeri, mereka terus belajar dan mencari dukungan internasional bagi kemerdekaan Indonesia, serta mengalami secara langsung bagaimana budaya dan demokrasi di negara itu.

Intinya adalah bagaimana sikap dan lingkunganyang bervariasi telah mendorong para toko itu tumbuh mekar menjadi manusia-manusia yang membanggakan karena memberikan sumbangan yang nyata dan bermakna bagi keindonesiaan. Karena itu menjadi kewajiban terutama bagi Pemerintah untuk mengusahakan pentingnya menanamkan sikap-sikap positif dan lingkungan yang bervariasi terutama dalam pengelolaan masyarakat dan pendidikan, sesuai dengan perkembangan kekinian Insonesia.

Terkait dengan lingkungan hati bisa disebutkan motivasi terutama motivasi internal sebagai daya dorong untuk maju dan berubah. Lingkungan hati ini memiliki hubungan dengan segala sesuatu yang bersifat keyakinan dan emosi. Lingkungan hati yang lebih menentukan dari motivasi adalah keyakinan, niat, semangat, harapan, dan kesungguhan untuk mencapai cita-cita. Sementara itu yang terkait dengan emosi antara lain adalah rasa nyaman, kegembiraan mengejar cita-cita, dan kemampuan untuk fokus pada tujuan-tujuan jangka panjang.

Keseluruhannya jika dikelola dengan sangat baik akan menjadi pemicu dan pemacu bagi setiap individu untuk terus menerus meningkatkan kemampuan diri dan kesungguhan mencapai cita-cita. Para tokoh yang disebutkan di atas telah tunjukkan bagaimana lingkungan hati tersebut berhasil menjadikan mereka manusia yang mampu memberikan sumbangan sangat luar biasa bagi pencapaian kemerdekaan negara bangsa ini.

Kondisi historis yang dijalani para tokoh itu memang sangat berbeda dengan yang kita alami sekarang. Namun, tantangan yang kita hadapi boleh jadi lebih kompleks dibandingkan masa lalu. Dalam arti tertentu kita juga "masih dijajah". Terutama secara ekonomis dan teknologis.

Oleh karena itu Pendidikan Indonesia Akar Indonesia harus mampu menemurumuskan cara-cara yang membuat anak bangsa memiliki sikap dan suasana hati yang memungkinkan mereka mampu melakukan tindakan sebagaimana yang telah dibuktikan oleh para tokoh itu. Bahkan melampauinya. Tentu saja dengan pengungkapan dan tindakan yang tidak sama, karena konteks sosial dan kondisi historisnya tidak sama.

Cara-cara yang menjadikan anak-anak bangsa ini menjadi manusia yang mandiri, merdeka, dan berani mengambil keputusan-keputusan yang mendahulukan kepentingan negara bangsa di atas kepentingan pribadi dan kelompok. Berani berkorban untuk kejayaan Indonesia.

Maknanya pendidikan merupakan upaya sistematis untuk memanusiakan manusia, sebagai makhluk multidimensi yang mengejawantahkan nilai-nilai terbaik kemanusiaan untuk memajukan manusia dalam kebersamaan sebagai komunitas negara bangsa. Pendidikan Indonesia Akar Indonesia tidak boleh menyederhanakan pendidikan hanya sebagai upaya memberikan kepada anak-anak bangsa keterampilan teknis praktis untuk kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan jangka pendek.

Pendidikan merupakan wahana yang paling tepat dan efektif untuk melakukan upaya merubah manusia ke arah yang lebih baik, bukan saja secara teknis pragmatis, juga secara substansial menyangkut sikap, sifat dan perilakunya, yang kini dipopulerkan dengan istilah pendidikan karaktert.

Siddharta Mukherjee dalam The Gene An Intimate History (2016) melakukan kajian sejarah tentang gen sejak 1865 saat Gregor Mendel melakukan penelitian tentang hereditas sampai dengan 2010-2015 kala metode baru tentang "edit" dan perubahan gen manusia telah dilakukan.

Mukherjee semakin menegaskan bahwa perubahan dan pengeditan gen manusia memang dimungkinkan. Dalam sejarah Indonesia hal itu telah dibuktikan. Bagaimana para tokoh itu mampu melampaui semua keterbatasan, hambatan dan tantangan menjadi pemicu untuk tumbuh mekar menjadi manusia yang memiliki kualitas di atas rata-rata. Mampu menjadi manusia pencipta sejarah. Tak terbantahkan bahwa pendidikan yang dijalani memberikan kontribusi sangat bermakna yang menjadikan mereka manusia pencipta sejarah.

Ada yang sangat menarik dari kehidupan para tokoh itu. Semua mereka, meskipun menjalani pendidikan formal. Namun, tidak berkutat hanya dengan buku, pelajaran dan segala sesuatu tentang sekolah. Semua mereka menyibukkan diri dengan berbagai aktivitas yang memungkinkan untuk, menggunakan istilah yang kini populer, mengasah kecerdasan sosial dan emosional. Mereka aktif berorganisasi, mengikuti berbagai kegiatan yang memungkinkan mereka bergaul, berinteraksi dan belajar dari banyak orang dengan beragam latar belakang.

Artinya mereka tumbuh mekar dalam lingkungan yang kaya dan mengalami langsung beragam aktivitas yang menumbuhkembangkan kesadaran kebangsaan. Itulah sebabnya sejak usia remaja mereka sudah terlibat dalam beragam bentuk perlawanan terhadap penjajah. Pengalaman langsung berhadapan dengan beragam masalah yang sungguh-sungguh dirasakan masyarakat jajahan sebagai akibat kekejaman penjajah. Semua ini, yaitu lingkungan yang kaya dan pengalaman langsung, benar-benar menjadikan mereka pribadi-pribadi yang matang.

Kathy Hirsh-Pasek, Roberta Michnick Golincof, Diane Meyer dalam Einstein Never Used Flash Cards (2004) menegaskan lingkungan yang kaya dan pengalaman langsung sangat membantu memperkaya otak.

David Eagleman dalam The Brain: The Story Of You (2015) menegaskan bahwa pengalaman langsung sangat memicu bertambahnya jejaring sinapsis di dalam otak yang meningkatkan kecerdasan, pemahaman dan penghayatan terhadap berbagai masalah. Karena itu mendorong untuk selalu mencari solusi atas masalah.

Dengan demikian Pendidikan Indonesia Akar Indonesia harus mengusahakan lingkungan yang kaya dan pengalaman langsung dalam praktik pendidikan. Lingkungan yang kaya tidak selalu bermakna sekolah yang bagus dengan fasilitas yang lengkap dan mahal.

Lingkungan yang kaya bisa dihadirkan dengan membawa para pembelajar dalam kehidupan nyata sesuai dengan pemahaman dan kompetensi yang sedang ditumbuhkembangkan. Tidak juga berarti harus pergi ke tempat tertentu dengan biaya mahal. Manfaatkan lingkungan sosial yang sangat dekat dengan mereka. Dekat dengan sekolah atau tempat tinggal.

Saya mengajar Mata Kuliah Manajemen Konflik. Tujuannya adalah memahami bagaimana konflik terjadi, apa penyebab, pemicu, dan tahapannya. Juga dicari tahu bagaimana solusi konflik itu diusahakan, langkah-langkah yang harus ditempuh dan hasil akhir penyelesaiannya.
Bila mahasiswa hanya diberi sejumlah konsep untuk memahami konflik pastilah mereka merugi karena hanya akan memahami konflik sebatas konsep intelektual.

Karena itu mereka diwajibkan, dalam kelompok yang terdiri dari tiga sampai empat orang, mendatangi tempat-tempat dan sekolah-sekolah yang pernah mengalami konflik seperti Johar Baru, Berlan, Tanjung Priok, Kampung Pulo dan banyak tempat lain. Para mahasiswa bertemu langsung dengan pihak-pihak yang pernah terlibat konflik, mendapatkan keterangan yang saling bertentangan, bahkan kadang suasana emosi yang masih negatif.

Cara ini memberi banyak keuntungan pada semua mahasiswa. Mereka bisa memahami konflik dari dalam. Dari orang-orang yang mengalami konflik itu. Pemahaman dari dalam dan mendalam memungkinkan tumbuhnya empati, memahami dan menghayati dari sudut orang yang mengalami. Cara ini sungguh telah mengasah kecerdasan sosial para mahasiswa. Bukan hanya pengetahuan dan pemahaman yang didapatkan. Pun kesadaran tentang pentingnya mengusahakan hidup damai dalam keberagaman, dan kompleksitas masyarakat dengan semua problematikanya.

Dalam Mata Kuliah Metode Penelitian, mahasiswa dalam kelompok kecil diwajibkan melakukan observasi dan wawancara ke sekolah-sekolah dan individu atau komunitas tertentu seperti anak jalanan, manusia gerobak, pedagang asongan, pemulung, dan beragam komunitas lain untuk mencaritemukan masalah-masalah yang layak untuk diteliti. Sebenarnya untuk merumuskan masalah penelitian bisa dilakukan di dalam kelas dengan berdiskusi dan membaca buku dan hasil-hasil penelitian yang telah dipublikiasikan.

Namun cara ini ditempuh agar mahasiswa mendapatkan pengalaman langsung dan memahami beragam lingkungan sosial dalam masyarakat. Dengan demikian, sebagai mahasiswa Pendidikan Ilmu Sosial, mereka sungguh memahami secara mendalam berbagai problema pendidikan yang terjadi di sekolah dan masalah-masalah yang sungguh dihadapi masyarakat.

Apa yang saya lakukan adalah sebuah upaya kecil untuk memberi kesempatan bagi para mahasiswa untuk mengembangkan secara sekaligus berbagai bagian dalam otaknya. Pada gilirannya otak mereka semakin diperkaya sehingga mereka tumbuh sebagai manusia multidimensi.

Cara kecil ini merupakan upaya sengaja yang dilakukan karena didasarkan pada kesadaran bahwa para pendidik memang harus mengusahakan secara sistematis beragam aktivitas yang memperkaya otak. Bukankah para tokoh yang memerdekakan negara bangsa ini dari penjajahan telah memberikan ketaladanan dengan hidup mereka, bagaimana mereka melakukan beragam upaya untuk memeperhadapkan dirinya dalam pengalaman langsung dengan "nyemplung" ke dalam berbagai masalah yang sungguh dirasakan oleh masyarakatnya.

Dalam kaitan itu, Gordon M. Shepherd dalam Creating Modern Neuroscience: The Revolutionary 1950s (2010) menguraikan bahwa telah terjadi revolusi dalam neurosains berkat kecanggihan teknologi dan sejumlah penelitian yang makin terfokus, spesifik dan rinci. Akibatnya banyak pendapat lama tentang otak berubah. Otak ternyata sangat adaptif dan elastis. Bukan benda yang statis. Upaya-upaya sistematis untuk membuat otak semakin kaya sangat dimungkinkan.

Jadi, melakukan berbagai upaya dan cara untuk membuat otak semakin kaya merupakan kewajiban dalam pendidikan dan pembelajaran. Jangan pernah mengerdilkan proses pembelajaran dan pendidikan hanya sebagai upaya untuk menjawab tes-tes skolastik yang sekadar bersifat kognitif intelektual. Cara ini bertentangan dengan keteladanan yang telah ditunjukkan oleh para tokoh yang sering kita sebut sebagai Bapak-bapak pendiri negara bangsa ini.

Bapak-bapak pendiri negara bangsa tersebut benar-benar secara sengaja memerkaya dirinya dengan aktif mengikuti berbagai aktivitas sebagai upaya untuk mengalami. Mengalami mengelola organisasi, mengalami belajar dengan banyak orang, mengalami melakukan perlawanan terhadap penjajah dengan segala resikonya. Beragam pengalam itulah yang telah membentuk kepribadian yang tangguh, tahan banting, konsisten dalam beragam kesulitan.

Rita Carter dalam Multiplicity: The New Science of Personality, Identity, and The Self (2008) menegaskan bahwa banyak faktor yang menetukan pembentukan kepribadian, yang utama adalah otak dan pengalaman. Ia kemudian membuat lingkaran kepribadian (2008:134) untuk memetakan beragam jenis kepribadian.

Ada gambar

Kepribadian adalah sintesis dari sejumlah sifat dan sikap yang tidak muncul secara otomatis. Tetapi tumbuh mekar melalui menjalani dan menghayati sejumlah pengalaman dalam hidup nyata. Gambar di atas menunjukkan sejumlah sifat yang menjadi dasar terbentuknya kepribadian. Beberapa contoh penggunaannya (2008:194 dan 196) ditampilkan berikut ini.

Ada gambar

Kepribadian yang dimiliki seorang profesional dan seorang Bos sangat berbeda. Karena unsur pembangun, tantangan, dan kebiasaan-kebiasaan keduanya memang berbeda.

Berdasarkan cara penjelasan di atas, kita bisa lebih memahami mengapa Bapak-bapak pendiri negara bangsa ini memiliki kepribadian yang menunjukkan bahwa mereka adalah manusia-manusia utama yang unggul dan mencapai prestasi puncak. Mereka secara sadar memilih tujuan yang jelas yaitu Indonesia merdeka, dan memilih pengalaman-pengalaman yang penuh tantangan sehingga tumbuh mekar dan terbentuklah kepribadian yang memungkinkan mereka menjalani hidup tidak seperti kebanyakan orang yang mencari kenyaman untuk diri sendiri, keluarga sendiri dan kelompok sendiri.

Kemampuan memilih tujuan-tujuan mulia yang mereka teladankan, pilihan-pilihan yang meniscayakan pengorbanan, sungguh telah membentuk mereka menjadi yang terbaik. Scott De Marchi and James T. Hamilton dalam You Are What You Choose: The Habits Of Mind That Really Determine How We Make Decisions (2009) menegaskan bahwa pilihan mengarahkan kita pada tujuan-tujuan yang telah ditetapkan, dan membawa konsekuensi yang tidak sederhana. Sebab secara langsung menentukan tindakan-tindakan apa yang harus dilakukan untuk mencapai atau mewujudkan pilihan itu. Apapun yang menjadi resiko atas pilihan itu, biasanya diterima dan dimaknai secara positif. Karena itulah, kita akan menjadi apa yang kita pilih.

Sebagai contoh cermati sikap Cokroamonoto yang sejak mula memilih tidak mau bekerjasama dengan penjajah. Ia menolak saat ditawari menjadi anggota Volksraad oleh Pemerintah Hindia Belanda pad 1927. Pastilah penolakan ini membawa akibat yang tidak menyenangkan baginya. Sebab ia dianggap sebagai pembangkang. Namun, penolakannya sangat dihargai oleh para aktivis perjuangan, membangkitkan semangat mereka dan Cokroaminoto semakin dipercaya sebagai pemimpin. Pemimpin yang layak diteladani. Pilihan Cokroaminoto menentukan posisinya yang kemudian menjadi tokoh yang paling inspiratif, dan diteladani. Itulah sebabnya tidak sedikit Bapak-bapak pendiri negara bangsa ini menjadi muridnya. Menjadi muridnya dalam usia sangat muda, Cokroaminoto juga masih terbilang muda.

Sangat menarik memerhatikan gejala ini. Bapak-bapak pendiri negara bangsa ini sudah mulai membuat pilihan-pilihan sulit dan menetukan dalam usia muda. Melakukan aktivitas perlawanan dan menjalani banyak pengalaman yang sangat bermakna pada usia muda.

Howard Gardner dalam Changing Minds: Seni Mengubah Pikiran Kita dan Orang Lain (2004) menjelaskan bahwa pembentukan dan perubahan-perubahan biasanya terjadi saat manusia masih berusia muda. Saat pilihan-pilihan masih sangat terbuka. Perubahan-perubahan itu akan sangat menentukan arah dan tujuan pada waktu selanjutnya.

Beranjak dari sejarah yang dijalani oleh para tokoh bangsa yang telah dijelaskan di atas, Pendidikan Indonesia Akar Indonesia harus memberi kesempatan pada generasi muda bangsa ini kesempatan-kesempatan yang memperhadapkan mereka pada pilihan-pilihan yang akan menentukan bukan saja sejarah dan masa depan pribadi, juga sejarah dan masa depan negara bangsa ini.

Maknanya, dalam praktik dan proses pendidikan serta pembelajaran, mereka diberi kesempatan seluas-luasnya untuk terbiasa sekaligus berpikir kritis dan kreatif, dan didorong selalu melakukan proses memilah, memilih dan mengolah. Artinya, merekalah yang aktif mencaritemukan berbagai masalah dan solusi.

Sebagai konsekuensinya metode-metode pembelajaran tradisional dan klasik yang menempatkan guru sebagai satu-satunya otoritas dan sumber di kelas sudah harus dilarang. Guru yang bertahan dengan metode itu harus disegarkan atau diminta memilih profesi lain.

Sisi lain dari kehidupan para tokoh itu adalah perbedaan dan keberagaman. Mereka menempuh pendidikan yang sangat berbeda. Ada yang dididik di pesantren yang biasa disebut pendidikan tradisional karena bukan saja berbeda dengan pendidikan moderen yang dikembangkan oleh penjajah. Juga merupakan bentuk perlawanan terhadap penjajah dalam bentuk pendidikan. Mereka yang dididik dalam tradisi pesantren kemudian melanjutkan pendidikannya ke Mekkah dan Madinah.

Ada pula yang mengalami pendidikan dalam lembaga pendidikan Islam moderen yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah. Beberapa menjalani pendidikan dalam lembaga yang berbasis nasionalis yaitu Taman Siswa.

Kebanyakan tokoh itu merasakan pendidikan Barat yang moderen. Terdapat perbedaan dan keberagaman. Ada yang dididik pada lembaga yang diperuntukkan bagi anak-anak Eropa dan anak kelas atas pribumi. Ada yang menikmati pendidikan pada sekolah moderen yang diperuntukkan bagi pribumi kelas dua atau rakyat kebanyakan.

Jenis dan tingkat pendidikannya juga sangat beragam. Ada yang hanya pendidikan dasar, ada pula yang sampai tingkat menengah. Dalam jumlah yang lebih sedikit sampai ke pendidikan tinggi. Ada yang menikmati pendidikan Barat di Indonesia saja seperti Sukarno. Ada pula yang sampai ke Belanda seperti Hatta. M. Natsir menikmati sekaligus pendidikan Barat dan pendidikan Islam sebagaimana yang dialami generasi muda di Tanah Minang.

Perbedaan dan keberagaman yang lain adalah akar budaya dari para tokoh. Sebagian besar berasal dari Jawa. Ada yang Jawa Timur dan Jawa Tengah. Sebagian dari Sumatra, paling banyak Sumatra Barat. Para tokoh itu sebenarnya berasal dari seluruh Indonesia dengan beragam latar belakang budaya. Hanya sebagian kecil saja yang dicantumkan di atas sebagai contoh.

Pastilah perbedaan dan keberagaman itu memberi corak terhadap kepribadian para tokoh. Bahwa mereka yang berasal dari akar budaya yang berbeda dan sangat beragam, demikian juga pendidikannya yang beragam, dapat bersatu untuk dan demi keindonesiaan merupakan anugerah yang luar biasa bagi negara bangsa ini. Maknanya sejak awal, hakikinya Indonesia adalah keberagaman atau kebhinekaan yang dirajut menjadi kesatuan, BHINNEKA TUNGGAL IKA.

Perbedaan dan keberagaman itu harus terus dipupuk, dimekarkan dan diberi makna. Sebab keberagaman itu adalah akar asli dan kuat dari keindonesiaan. Pendidikan Indonesia Akar Indonesia harus didasarkan pada hakikat keindonesiaan yang beragam itu. Penyeragaman adalah musuh besar yang harus dilawan. Justru keberagaman itulah yang membentuk kita sebagai manusia Indonesia, dulu, kini, dan nanti.
Erin Meyer dalam The Culture Map: Decoding How People Think, Lead, And Get Things Done Across Cultures (2015) menegaskan bahwa setiap individu itu berbeda, tetapi ada corak budaya dalam dirinya. Budaya membentuk perilaku dan memberi pengaruh pada persepsi, kognisi, dan tindakan setiap individu.

Meyer (2015:15-16) membuat skala untuk memetakan dan mengukur perbedaan antarbudaya. Skala tersebut adalah:

. Communicating: low-context vs. high-context
. Evaluating: direct negative feedback vs. indirect negative feedback
. Persuading: principles-first vs. aplication first
. Leading: egalitarian vs. hierarchical
. Deciding: consensual vs. top-down
. Trusting: task-based vs. relationship-based
. Disagreeing: confrontational vs. avoid confrontation
. Scheduling: linear-time vs. flexible-time.

Berdasarkan skala ini bisa dipetakan perbedaan manusia yang berasal dari budaya yang berbeda. Perbedaan itu ditampilkan dalam spektrum. Sebagai contoh ditampilkan perbedaan dalam skala scheduling di bawah ini (2015:23)

Germany           UK                    France                 India
<-------------------------------------------------------------------------------------->
Linear-time.                                                                    Flexible-time

Penjelasan dan skala dari Meyer menekankan pentingnya mengakui bahwa memang terjadi perbedaan karena pengaruh budaya. Bukan sekadar perbedaan cara berpakaian dan kuliner. Lebih dalam dari itu perbedaan persepsi, kognisi dan tindakan. Sebagai negara bangsa perbedaan itu kita bingkai dalam ideologi negara Pancasila.

Pendidikan Indonesia Akar Indonesia harus menjadi pelopor bagi kelangsungan keberagaman Indonesia. Tidak boleh ada upaya penyeragaman. Penyeragaman, apalagi dengan paksaan, pasti akan berujung anomali dan tragedi.

Sebagai bangsa kita menerima Pancasila adalah ideologi yang merajut kita untuk hidup damai dalam keberagaman dan perbedaan. Saat Orde Baru yang dikomadani Suharto dan didukung sangat kuat oleh militer memaksakan Pancasila sebagai satu-satunya asas berpolitik dan bermasyarakat. Terjadilah tragedi yang menyebabkan sejumlah anak bangsa dihabisi dengan kejam antara lain di Tanjung Priok. Mengapa sampai terjadi tragedi. Karena penyeragaman secara hakiki bertentangan dengan kodrat keindonesiaan.

Pendidikan memiliki sifat lebih terbuka tinimbang ideologi. Karena itu dalam jagat pendidikan, keberagaman harus dijadikan akar dan terus dikembangmekarkan. Jangankan lembaga pendidikan, pabrik mobil saja saat membangun pabriknya di berbagai negara, sangat memerhatikan budaya setempat dalam pengelolaan sumber daya manusianya.

Orang-orang yang merasa dirinya pakar pendidikan dan getol menyerukan agar kita mengadopsi dan mengadaptasi model-model pendidikan dari negara-negara yang mutu pendidikannya terbaik di dunia seperti Finlandia, Jepang, dan Korea Selatan. Adalah orang yang sama sekali tidak memahami hakikat pendidikan. Seruan mereka bukan saja aneh, juga sangat berbahaya.

Dimana pun di dunia ini, sistem dan model pendidikan yang dibangun di sebuah negara pasti berakar pada budaya dan ideloginya. Kita bisa belajar secara kritis dengan tahapan memilah, memilih dan mengolah hanya pada dimensi-dimensi teknis. Itupun dengan keharusan untuk disesuaikan dengan budaya kita.

Jie-Qi Chen, Seana Moran, Howard Gardner eds. dalam Multiple Intelligences Around The World (2009) menegaskan, bahwa penerapan Multiple Intelligences (MI) yang dirumuskan Gardner tidak bisa seragam penerapannya di semua tempat. Faktor budayalah yang membuat penerapan itu berbeda. Bahkan di Cina yang sangat luas, penerapan MI muncul dalam beragam bentuk. Ini menunjukkan betapa penting dan menentukan kebudayaan sebuah bangsa.

Pendidikan sejatinya adalah bagian penting dari pembudayaan yaitu memertahankan yang terbaik yang terdapat di dalam kebudayaan dan terus mengembangkannya sesuai dengan tantangan dan tuntutan zaman. Pendidikan harus berakar pada budaya.

Apa yang dilakukan sejauh ini untuk merumuskan Pendidikan Indonesia Akar Indonesia barulah langkah awal. Ada banyak cara untuk menggalinya, antara lain dengan melakukan kajian mendalam terhadap praktik-praktik pendidikan yang telah berjalan lebih panjang dari umur kemerdekaan kita. Sejumlah sumber yang bisa dimanfaatkan adalah tradisi pesantren, Taman Siswa, Pendidikan Kayu Tanam di Ranah Minang, Pendidikan Muhamadiyah, Pendidikan yang terkait dengan Agama Hindu, Budha, dan Kristen. Juga bagaimana tokoh-tokoh selain tokoh politik tumbuh kembang.

PENDIDIKAN BERMAKNA BILA BERAKAR PADA BUDAYA YANG TERBUKTI DAPAT BERTAHAN DALAM LINTASAN SEJARAH, DAN MEMBIMBING KITA MENUJU MASA DEPAN.

Sabtu, 21 Mei 2016

GOLONGAN INGKAR?

Sebagian besar kita pasti belum lupa bagaimana kemarahan rakyat terhadap Setya Novanto kala kasus Papa Minta Saham terbongkar. Bahkan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang pernah menjadi Ketua Umum Golkar ikut marah dan bersikap sangat keras. JK lah yang mendorong agar kasus ini tidak saja diselesaikan secara politik, juga dituntaskan secara hukum.

Kejaksaan Agung dan Polisi kemudian mengambil langkah-langkah untuk mengusut kasus ini. Kita tak pernah tahu apa yang terjadi di kedua lembaga penengak hukum itu. Polisi dengan sangat cepat mengambil kesimpulan Setya Novanto tidak bermasalah. Sementara itu harapan muncul di Kejaksaan Agung karena ngotot menghadirkan semua yang diduga terlibat, termasuk Setya Novanto ke Gedung Bundar. Kini, setelah Setya Novanto jadi Ketua Umum Golkar, tampaknya kasus itu akan pudar terlempar dari Gedung Bundar.

Di DPR terjadi keseruan dan kehebohan. Koalisi Merah Putih berusaha keras agar kasus yang melilit Setya Novanto jangan sampai disidangkan di Mahkamah Kehormatan Dewan, apalagi sampai disidangkan secara terbuka. Fadli Zon sejak awal mempertanyakan kedudukan hukum si pengadu, sebagai upaya untuk menjegal agar kasus ini tidak dibuka oleh Mahkamah Kehormatan Dewan. Koalisi Merah Putih sangat solid membela Setya Novanto yang kala itu adalah Ketua DPR.

Pada sidang terbuka Mahkamah Kehormatan Dewan terjadi sirkus sekaligus dagelan politik yang dipertontonkan Koalisi Merah Putih membela Setya Novanto. Bukan hanya akal sehat yang dijungkirbalikkan, bahkan etika dan moral dikacaubalaukan. Sedangkan di luar sidang masyarakat sangat marah yang ditunjukkan dengan demonstrasi yang meluas di seluruh tanah air dan kecaman sangat keras di media sosial.

Setya Novanto sungguh menjadi musuh publik. Macam-macam simbol yang dibuat untuk menggambarkan betapa jahat dan tak bermoralnya Setya Novanto. Sirkus dan dagelan politik pada sidang Mahkamah Kehormatan Dewan akhirnya memutuskan Setya Novanto dihukum ringan. Setya Novanto mengundurkan diri sebagai Ketua DPR pada saat sidang akan berakhir.

Meski tampak tidak puas dan masih marah, publik agak merasa lega karena Setya Novanto terlempar dari jabatan Ketua DPR dengan cara yang memalukan karena dinyatakan bersalah, meski hukumannya ringan.

Namun, Golkar segera mengangkatnya jadi Ketua Fraksi Partai Golkar menggantikan Ade Komaruddin yang dianggkat menjadi Ketua DPR. Berbagai tanggapan negatif muncul. Pengangkatan itu bukan saja dinyatakan tidak pantas, juga mengabaikan aspirasi dan perasaan keadilan masyarakat. Tetapi Golkar tampak sama sekali tidak terganggu dengan kecaman dan protes yang muncul. Tidak mengherankan, bukankah mereka termasuk golongan ingkar? Sesuai namanya.

Perilaku yang membuat mereka bisa dikategorikan golongan ingkar juga sangat terlihat dalam perpecahan yang meluluhlantakkan Golkar. Berbagai kesepakatan antara dua kubu yang bertikai selalu tidak dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Kedua kubu saling serang, yang satu menuduh yang lain sebagai pihak yang tidak konsisten.

Keikutsertaan Pemerintah untuk menyatukan kembali Golkar tampaknya berjalan dengan baik. Kondisi ini tidak mengherankan karena di dalam Pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla, ada pejabat tinggi yang pernah menjadi petinggi Golkar yaitu Jusuf Kalla dan Luhut Binsar Panjaitan.

Akhirnya Golkar berhasil menyelenggarakan Munaslub. Pertarungan untuk menjadi Ketua Umum Golkar mengemuka. Dari luar terlihat sangat seru. Ada delapan calon. Ada masalah terkait sumbangan calon ketua yang sempat beredar menjadi wacana heboh di masyarakat dengan bilangan fantasitis yaitu 20 milyar.

Reaksi keras muncul dari mana-mana, termasuk dari KPK. Akhirnya calon ketua harus menyumbang satu milyar. Tetapi ada dua calon yang menolak. Pada saat akhir menjelang pengumuman, calon ketua yang menolak membayar boleh ikut bertarung, karena sumbangan dari wajib diubah menjadi sukarela.

Mengemukanya soal mahar ini menunjukkan bahwa Golkar memang lekat dengan permainan uang. Itulah sebabnya banyak kadernya yang masuk penjara tersangkut kasus korupsi. Baik kader di legislatif maupun eksekutif. Golkar juara bertahan dari tahun ke tahun sebagai juara korupsi, tak bisa dikalahkan oleh partai lain.

Terkait dengan calon ketua umum, masyarakat sangat mempersoalkan masuknya nama Setya Novanto. Mengapa orang bermasalah seperti itu bisa masuk sebagai calon ketua umum. Bahkan digadang-gadang akan memenangkan pemilihan. Di dalam Golkar terdengar juga sayup-sayup sampai keberatan terhadap majunya Setya Novanto.

Pertarungan untuk menjadi ketua umum Golkar semakin seru karena pejabat tinggi Pemerintah Jokowi yang pernah menjadi petinggi Golkar memihak pada calon yang berbeda. JK tampaknya condong ke Ade Komarudin yang ditonjolkan sebagai tokoh yang tidak bermasalah. Sedangkan Luhut Binsar Panjaitan menunjukkan kedekatan pada Setya Novanto. Ini tidak mengherankan karena dalam kasus Papa Minta Saham yang melibatkan dan menyudutkan Setya Novanto, nama Luhut paling banyak disebut-sebut.

Ada ketegangan di Munaslub soal cara memilih ketua umum. Pemilihan terbuka atau tertutup. Menariknya JK sampai ikut berkomentar. Begitupun saat orang mempersoalkan rangkap jabatan bila Ade Komaruddin menang. JK juga menanggapi.

Akhirnya setelah pemilihan berlangsung, Setya Novanto menang. Di media massa dan media sosial muncul tanggapan yang intinya menyesalkan bahkan menghujat mengapa kader Golkar lebih memilih Setya Novanto. Sebenarnya terpilihnya Setya Novanto menunjukkan jati diri Golkar.

Golkar sejak Orde Baru memang partai bermasalah, dan sering ingkar. Pribadi Setya Novanto yang selalu bermasalah menjadi sejajar dengan jati diri Golkar. Setya Novanto adalah calon ketua umum dengan kekayaan yang paling banyak. Inipun sejajar dengan karakter Golkar. Bukti paling nyata adalah mahar yang harus disetor untuk menjadi calon ketua umum.

Begitu terpilih, Setya Novanto membuat pernyataan akan membela Jokowi dan mendukung pencalonan Jokowi menjadi presiden pada pilpres 2019. Penyataan ini secara tegas manunjukkan jati diri dan  orientasi Golkar yang asli. Boleh jadi akan memunculkan banyak masalah di masa depan. Mengapa?

Jokowi selama ini cenderung mengedepankan dan membangun politik kerakyatan, sedangkan jati diri Golkar berorientasi pada politik kekuasaan. Kedua orientasi ini bukan saja berbeda, tetapi bertentangan.

Kita pasti masih ingat saat menjelang pilpres kala Jokowi sudah dipastikan maju sebagai calon presiden oleh PDIP. Golkar termasuk partai pertama yang menyatakan dukungan. Terjadi serangkaian pertemuan antara Jokowi dan Aburizal Bakrie. Bahkan ada pertemuan di pasar tradisional. Tempat yang mungkin tidak pernah dikunjungi Aburizal Bakrie. Tentu saja pertemuan di pasar tradisional itu merupakan lambang dari orientasi politik Jokowi, yaitu politik kerakyatan.

Jokowi tetap pada pendiriannya jika mendukung harus tanpa syarat. Tidak ada pembicaraan tentang komposisi kabinet. Golkar ternyata ngotot dengan syarat, yaitu penempatan kadernya dalam kabinet.

Cara dan pendirian Jokowi ini memang tidak lazim dalam politik. Tetapi Jokowi tetap ngotot harus tanpa syarat. Karena ia tidak mau terjebak dalam politik transaksional. Belum apa-apa koq ngomongin kabinet. Jika hendak berbuat untuk rakyat jangan meributkan tempat di kabinet. Sekarang ini adalah fase mendapatkan dukungan rakyat untuk memenangkan pemilihan dengan tujuan menggunakan kekuasaan bagi kepentingan rakyat. Bila yang lebih dulu dibicarakan komposisi kabinet, dimana kesungguhan dan ketulusan untuk berbuat bagi kesejahteraan rakyat?

Rupanya Golkar tidak bisa menerima cara ini. Segera saja Golkar mendukung Prabowo. Setelah resmi mendukung Prabowo, merebak wacana menteri senior yang akan ditempati Abirizal Bakrie. Tampak sangat jelas, tegas, dan transparan bahwa Golkar memang penganut, pejuang dan konsisten dengan politik kekuasaan. Berpolitik, menggunakan partai politik hanya untuk memperoleh kekuasaan.

Jika kini Golkar mendukung Jokowi di bawah komando Setya Novanto, poli-tikus sangat bermasalah, kita akan menjadi saksi akan seperti apa jadinya. Dimana pun di dunia ini politikus dan poli-tikus sejatinya tak pernah bisa bersatu.

POLITIK KITA MEMANG PENUH PERTENTANGAN DAN PENGINGKARAN.

Jumat, 20 Mei 2016

LEBIH BAIK MATI

Lebih baik mati! Hidup juga udah gak guna!

Ungkapan ini dilontarkan seorang remaja putra dengan sangat emosi sampai-sampai suaranya terdengar bergetar. Ungkapan itu terdengar tidak elok, bahkan mungkin tidak pantas. Tabu, pantang atau pamali. Mengejutkan. Boleh jadi si remaja itu letih, sangat letih atau mulai putus asa, frustrasi.

Sudah lebih dari sebulan ia menunggui ayahnya yang terbujur tak berdaya di ruang ICU. Ia bungsu dan satu-satunya lelaki. Ketiga kakaknya perempuan. Karena satu-satunya lelaki, maka ia harus menemani ibu atau kakaknya di malam hari menunggui sang ayah. Mereka tidur di sebuah ruang kecil yang memang disediakan bagi keluarga klien yang dirawat di ruang ICU.

Pastilah tidak menyenangkan tidur di ubin beralaskan karpet dan kasur tipis. Meski ber AC, ruangan itu agak panas karena terlalu banyak manusia di dalamnya. Hanya keluarga mereka yang menunggu berdua. Keluarga lain ada yang sampai empat orang menunggu di situ.

Pagi sekali ia harus pulang mengendarai motor sendiri agar tidak terlambat sampai di sekolah. Jarak dari rumah sakit ke rumahnya bisa ditempuh satu setengah jam bila tidak macet. Sekolahnya tidak terlalu jauh dari rumah.

Mungkin, karena sudah lebih dari sebulan, ia mulai merasa penat. Kegiatan rutinnya terganggu dan ia harus menjalani hidup yang sama sekali berbeda. Apalagi jika memerhatikan ayahnya di ruang ICU dari balik kaca. Ia merasa sangat sedih, putus asa dan sama sekali tidak mengerti.

Mengapa ayahnya yang begitu baik, dermawan, sangat peduli terhadap orang miskin, rajin beribadah harus terbujur kaku tak berdaya di ruang yang dipenuhi peralatan yang tertancap di banyak bagian tubuh ayahnya. Sedangkan banyak orang jahat yang dirasuki kebencian, iri hati, koruptor, pemerkosa anak-anak berkeliaran dalam keadaan sehat di luar sana. Mengapa bukan mereka yang terbujur di sini sebagai balasan atas kejahatannya?

Ia sekeluarga memang sama sekali tidak siap dan sangat kaget serta terpukul mengahadapi musibah yang sangat tiba-tiba ini. Ayahnya tidak mengidap penyakit berbahaya seperti jantung, diabetes, darah tinggi atau gangguan organ serius. Ayahnya sehat-sehat saja.

Semua ini bermula akibat pengemudi truk bejat menyetir dalam keadaan mabuk. Mobil ayahnya ditabrak  oleh truk yang ugal-ugalan. Supir ayahnya meninggal di tempat kejadian, dan ayahnya koma sampai hari ini. Sang sopir truk kini dirawat di rumah sakit yang berbeda dengan kaki dan tangan patah, serta berstatus sebagai tahanan Polisi.

Karena keadaan ayahnya semakin memburuk, sudah tiga kali dilakukan rapat keluarga besar yang melibatkan seluruh keluarga ayahnya. Sebenarnya suara mayoritas menginginkan semua peralatan yang disambungkan ke tubuh ayahnya segera dicabut. Sangat kasihan membiarkan ayahnya diperlakukan seperti itu. Ia dan kakak-kakaknya juga tidak keberatan.

Tetapi ibunya belum ikhlas melepas ayahnya. Ia berpikir, mungkin ketidakikhlasan ibunya itu yang membuat ayahnya masih bertahan. Ibunya percaya, manusia boleh mengharapkan mukjizat dari Allah. Ia dapat menerima penolakan ibunya. Ia yakin, dalam masalah pelik seperti ini, suara terbanyak bukanlah penentu. Ini bukan sedang pemilihah kepala desa, pikirnya.

Namun, belakangan ia mulai berpikir bahwa lebih baik ayahnya wafat. Ia berpikir seperti itu bukan karena tidak menyayangi dan mencintai ayahnya. Ia mendengar keterangan dari dokter bahwa ayahnya mengalami cedera sangat berat pada kepalanya. Otaknya sudah tidak bisa berfungsi normal kembali. Benturan keras membuat kepala dan otak ayahnya benar-benar mengalami kerusakan fatal.

Ia mencari berbagai informasi di Google tentang cedera otak. Benar saja, jika dipertahankan hidup, ayahnya sudah tak lagi bisa berfungsi sebagai manusia normal. Makin lama di ruang ICU pasti menghabiskan uang. Mereka sudah menjual dua motor. Ayahnya pedagang, memiliki toko di Tanah Abang dan beberapa tempat lain. Jika begini terus, pasti semuanya akan tersedot habis. Bagaimana keluarga ini menghadapi hidup selanjutnya? Bukankah keluarga ini harus melanjutkan hidup, apapun keadaannya?

Ungkapan lebih baik mati, hidup juga gak guna, terasa tidak sopan, sarkas atau kasar, boleh jadi menggambarkan keputusasaan. Namun dalam konteks seperti ini rasanya tidaklah demikian artinya. Kala manusia menghadapi pilihan-pilihan yang sulit, cara menilai pastilah tidak sama dengan keadaan normal.

Menghadapi situasi seperti ini memang sangat problematis. Terutama bagi manusia yang memiliki iman dan menghayati spiritualitas. Di beberapa negara Barat sudah ada regulasi yang membolehkan manusia disuntik untuk mengakhiri hidup bila memenuhi sejumlah persyaratan, agar tidak terlalu lama menderita. Salah satu sumber regulasi itu adalah hak asasi manusia. Pemikiran yang sepenuhnya rasional yang tidak didasarkan pada iman atau spiritualitas memang sederhana. Sesederhana matematika duniawi. Tiga dikurang satu pasti dua.

Tidak demikian halnya dengan matematika yang didasarkan pada iman, yang melekat dengan spiritualitas. Bila Anda memiliki uang seribu rupiah dan memberikan lima ratus rupiah dengan ikhlas kepada orang yang pantas menerimanya, faktanya uang Anda sisa lima ratus sebagaimana yang diajarkan matematika duniawi.

Tetapi matematika yang didasarkan pada iman menegaskan, Allah pasti, bukan akan, membalasnya berkali-kali lipat. Ini garansi dari Allah. Balasan itu bisa dalam bentuk uang juga. Tetapi tidak selalu dalam bentuk uang. Bisa berupa kesehatan, keselamatan, dan bentuk-bentuk lainnya.

Begitupun manghadapi kematian. Secara rasional benar adanya bahwa jika manusia mengalami kerusakan otak, apalagi parah pasti tidak lagi dapat berfungsi sebagai manusia normal. Karena itu untuk apa dipertahankan tetap hidup?

Ini bukan sekadar soal apakah manusia masih bisa berfungsi lagi atau tidak. Bahkan bukan hanya soal bisa sembuh lagi atau tidak. Ini soal siapa yang menentukan kematian.

Mengapa ada orang yang menderita begitu lama sebelum akhirnya wafat? Ada rahasia di balik semua itu. Penalaran rasional memang tidak memiliki kemampuan untuk memahaminya secara mendalam. Menghadapi situasi ini dibutuhkan penalaran spiritual. Penentunya adalah keyakinan akan keberadaan dan kekuasaan Tuhan.

Agama mengajarkan, penderitaan yang dialami oleh manusia sebelum wafat dalam bentuk sakit berkepanjangan, penderitaan mereka yang diluluhlantakkan tsunami, gempa bumi dan bencana lain, memiliki makna di hadapan Allah. Semuanya diperhitungkan, diberi tempat. Itulah sebabnya suntik mati tidak dibenarkan bagi manusia yang sangat menderita sekalipun oleh aturan agama.

Kematian memang memiliki makna yang tak menyenangkan. Kematian lekat dengan kehilangan, kesedihan, dan pedihnya ditinggalkan oleh orang yang dicintai. Namun, kadang kematian adalah solusi terbaik. Bila si ayah yang telah lama terbujur di ruang ICU wafat, pastilah merupakan solusi bagi penderitaan keluarga ini.

Meskipun tetap akan dihadapi dan dialami dengan kesedihan mendalam. Namun, terselip rasa syukur. Biasanya secara halus diungkapkan dengan cara tidak langsung seperti, kepergian ini merupakan yang terbaik baginya. Terbaik bagi semuanya. Meski kita sangat menyayangi dan mencintainya, tetapi Allah lebih mencintainya. Ungkapan yang membuat semua yang terlibat dalam kesedihan merasa lebih lega dan enteng.

Kematian sebagai solusi juga bisa dialami oleh negara. Pada negara-negara komunis yang dengan sengaja mentradisikan kultus individu, seringkali kematian merupakan solusi terbaik untuk mengatasi konflik dan membuat negara menjadi stabil.

Saat Mao Tse Tung makin sepuh dan kurang berfungsi, ia tetap jadi pemimpin besar. Karena para pendukung utama dalam lingkar dalam kekuasaan tetap membutuhkan kehadiran sosoknya agar tetap berada dan memertahankan kekuasaan. Tak pernah gampang mengganti pemimpin besar di negara-negara komunis.

Sementara pemimpin besar semakin dipunukkan penyakit parah, berkembanglah beragam spekulasi dan konflik yang membuat negara menjadi tidak stabil. Ketegangan bisa berkepanjangan bila sang pemimpin besar tidak pernah muncul ke publik.

Berbagai kelompok kepentingan bahkan bisa secara langsung berhadap-hadapan memperebutkan kekuasaan. Kala akhirnya si pemimpin besar wafat, biasanya stabilitas negara secara perlahan bisa dikembalikan, pemimpin besar baru pun muncul. Cina mengalaminya pada masa Mao dan Deng Xiao Ping. Korea Utara mengalaminya pada sama Kim Il sung dan Kim Jong Il. Cuba juga mengalaminya.

Kematian kadang merupakan solusi terbaik untuk sejumlah masalah yang dihadapi keluarga bahkan negara. Meski begitu, manusia tetap harus sepenuhnya menyadari bahwa penentu kematian adalah Allah.

KEMATIAN KADANG MENJADI PROBLEMATIS.

Kamis, 19 Mei 2016

POLI-TIKUS, XJODO DAN DA2P

Lokalisasi pelacuran kelas bawah Da2p digusur bulan ini. Setelah Xjodo digusur, tidak sedikit wanita penghiburnya pindah ke Dadap. Da2p semakin ramai dan meriah. Namun, Da2p yang sejak setahun lalu telah direncanakan akan digusur, pada akhirnya digusur juga.

Ada yang sangat menarik. Pemberitaan penggusuran Da2p tidak seheboh Xjodo. Tak ada seorang pun politi-kus yang datang ke Dadap. Kalo tikus sejak dulu banyak berkeliaran di Dadap. Maklumlah, tempatnya kumuh.

Saat Xjodo hendak digusur para politi-kus dan selebritis yang nafsu banget pengen jadi Gubernur DKI Jakarta menyambangi, memberi komentar yang menyerang kebijakan Pemda DKI Jakarta yang menggusur lokalisasi kekas bawah itu. Ratna Sarumpaet bahkan marah besar dan ikut hadir di Xjodo.

Semua mereka tampil bak pahlawan membela rakyat kecil yang katanya ditindas oleh penguasa. Mereka memaki-maki Gubernur DKI Jakarta.

Sekarang lokalisasi Da2p digusur. Ada ribuan orang kecil di situ yang tinggal dan hidup selama bertahun-tahun. Mereka sama saja dengan penghuni Xjodo, miskin, tak berdaya. Kini nasib mereka lebih buruk daripada pemukim di Xjodo. Karena pemukim di Xjodo yang memenuhi persyaratan tertentu diberi pengganti tempat tinggal di rumah susun. Penghuni Da2p tidak seberuntung itu. Artinya korban penggusuran Da2p lebih menderita daripada korban penggusuran Xjodo. Mereka sesungguhnya lebih pantas dibela.

Mengapa para politi-kus, selebritis dan yang merasa aktivis HAM yang dulu mempersoalkan penggusuran Xjodo dan sampai datang ke sana, tidak hadir di Da2p? Apa rakyat Da2p tidak pantas dibela? Mengapa mereka diem aja!

Penggusuran lokalisasi Da2p benar-benar memberi pelajaran sangat berharga bagi rakyat Indonesia. Ternyata sebagian (besar) politi-kus, selebritis, dan yang merasa pembela HAM, menjadikan penderitaan rakyat untuk kepentingan pribadi mereka. Mereka cuma nyari panggung untuk unjuk diri. Kacian betul ya. Apakah jika dalam waktu dekat tidak ada pemilihan Gubernur DKI Jakarta mereka membela (tidak sungguh-sungguh) warga Xjodo?

Xjodo, Luar Batang, Pasar Ikan, Bantaran Kali Ciliwung, Reklamasi Teluk Jakarta dan semua persoalan yang ada di DKI Jakarta telah dimanfaatkan oleh para politi-kus bermental tikus untuk kepentingan pribadi demi memenuhi syahwat kuasa karena kepincut pengen bangets jadi gubernur. Semoga kita tidak lupakan kejadian ini.

Dalam jagat politik Indonesia tampaknya model seperti ini sudah ada sejak lama. Saat menjelang pemilihan, para poli-tikus bermental tikus sangat atraktif tampil membela dan meyuarakan aspirasi rakyat. Politi-kus tertentu bahkan membawa-bawa isi kitab suci untuk menyerang lawannya, meskipun hidup sehari-harinya bertentangan dengan isi kitab suci yang digunakannya.

Politik pengatasnamaan rakyat ini selalu berakhir pada pengkhiatan. Sebab para poli-tikus itu kerap kali membuat kebijakan yang menyengsarakan rakyat jika nantinya berkuasa.

Karena itu, penggusuran lokalisasi pelacuran kelas bawah Da2p yang sama sekali tidak menjadi perhatian para poli-tikus dan orang yang merasa aktivis HAM, sebagaimana mereka dulu sangat bersemangat membela rakyat Xjodo, menegaskan bahwa kebanyakan poli-tikus itu hanya mengejar kekuasaan. Bukan berjuang untuk rakyat.

Jika sungguh-sungguh membela rakyat seharusnya mereka datang ke Da2p dan membela rakyat miskin yang digusur. Mosok, membela rakyat pilih-pilih. Rakyat Xjodo dibela, rakyat Da2p dicuekin. Poli-tikus kayak gini bermetal tikus, berhati kumuh. Sekumuh Xjodo dan Da2p.

Memerhatikan sikap poli-tikus terhadap penggusuran Xjodo dan Da2p, saya jadi teringat politikus Islam Mohammad Natsir. Ia adalah politikus yang luar biasa. Ia tidak hanya memanfaatkan Islam untuk kepentingan pribadi sebagaimana kebanyakan poli-tikus. Ia memperjuangkan Islam dengan cara yang santun, beradab, argumentatif, dan penuh keteladanan. Ucapan dan perbuatannya konsisten. Sebagai politikus yang berbasis pada partai Islam, ia berjuang untuk rakyat Indonesia secara keseluruhan. Ia pernah menjadi menteri dan perdana menteri.

Natsir adalah teladan terbaik politikus yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat, bukan hedonik kekuasaan sebagaimana kebanyakan poli-tikus Indonesia dulu dan kini. Karena kritiknya terhadap rezim totaliter Orde Baru yang dikomandani Suharto, ia benar-benar dimusuhi.

Namun, demi kesejahteraan rakyat Indonesia, Natsir meminta Kuwait menanamkan investasi di Indonesia, dan meyakinkan Pemerintahan Jepang untuk membantu pembangunan Indonesia, saat Suharto berkuasa. Ia bekerja keras memulihkan hubungan baik Indonesia-Malaysia agar Indonesia memiliki kesempatan membangun pada awal Pemerintahan Orde Baru.

Natsir hidup sederhana sampai akhir hayatnya, meski ia pernah menjadi menteri dan perdana menteri. Sebab sebagai politikus bermoral tinggi, beretika mulia dan memperjuangkan rakyat, ia tidak pernah mengejar kekuasaan untuk kepentingan diri sendiri dan kelompoknya. Natsir tak pernah memanfaatkan penderitaan rakyat untuk kepentingan kekuasaan seperti yang dipertontonkan tanpa rasa malu sama sekali oleh kebanyakan poli-tikus. Terutama yang pengen bangets jadi Gubernur DKI Jakarta.

RAKYAT INDONESIA SEJAHTERA JIKA DIPIMPIN POLITIKUS BERMORAL TINGGI, BERETIKA MULIA DAN BUKAN PENGEJAR KEKUASAAN SEPERTI KEBANYAKAN POLI-TIKUS YANG BERMENTAL KUMUH.

SENYUMAN BUNDA TUTY ALAWIYAH

( Allah, surgalah baginya)

Foto wajah Bunda Tuti Alawiyah muncul di media sosial. Wajah itu tersenyum, terlihat sangat sumringah. Melihatnya hati terasa damai. Jika sedang tertidur, pastilah wajah itu menunjukkan beliau sedang bermimpi indah, sangat indah.

Sejumlah orang, entah dengan motivasi apa, mempersoalkan bahwa senyuman yang terlihat pada jenazah Bunda Tuti Alawiyah merupakan bentukan yang berasal dari tipe wajah beliau. Jadi tidak bermakna apapun. Sepenuhnya terkait dengan bentuk wajah, kontur dan tekstur kulit wajah.

Memang terkait dengan bentuk wajah dan ekspresinya, kita bisa menjelaskannya dengan banyak pendekatan menggunakan kajian biologi, fisika dan kimia, serta pendekatan lain. Karena wajah bersifat fisik-biologis dan terikat pada hukum-hukum fisik-biologis.

Sebagai seorang muslim tentu saya menghargai berbagai pendekatan sebagai upaya menjelaskan senyum yang sumringah itu. Tetapi saya sepenuhnya haqul yakin bahwa berbagai pendekatan yang materialistik dan duniawi itu tidak memiliki kemampuan untuk memahami hakikat senyuman itu, apa yang ada di baliknya. Karena saya yakin  senyuman ini sepenuhnya spiritual. Senyum yang terlihat itu sesungguhnya menunjuktegaskan sesuatu yang mendalam, yang hanya bisa dicerap oleh nurani, oleh mata iman.

Sebenarnya dalam psikologi pun pernah dikaji senyum tulus spontan yang merupakan cermin perasaan sesungguhnya yang dapat dibedakan dengan senyum rekayasa yang biasanya ditunjukkan pramuniaga super market dan pramugari. Senyum yang ditampilkan sebagai bagian dari aturan pekerjaan. Maknanya, senyuman tidak memadai dijelaskan hanya dengan pendekatan materi terkait dengan bentuk wajah dan kontur kulit wajah.

Apalagi bila senyum itu menghiasi wajah orang yang wafat, seperti yang ditunjukkan Bunda Tuty Alawiyah. Tidak usahlah mencari data statistik berapa banyak orang meninggal dengan wajah tersenyum. Cukup gunakan pengalaman kita masing-masing. Sepanjang hidup sampai hari ini, ada berapa orang yang pernah kita lihat tersenyum saat berpulang?

Saya mempunyai banyak pengalaman melihat dan memerhatikan wajah orang yang meninggal. Selama menjadi relawan di Meulaboh, saya melihat ratusan wajah korban tsunami yang wafat. Mulai dari wajah yang masih utuh sampai yang hancur berantakan karena terlalu lama terendam di laut. Wajah korban yang wafat tertimpa bangunan, dan wajah jenazah yang berserakan di banyak tempat. Nyaris semua wajah yang masih bisa diidentifikasi memunculkan rasa ngeri saat ditengok. Pastilah ekspresi wajah itu menggambarkan kengerian saat terakhir sebelum mereka wafat.

Saat kerusuhan di Sampit, sebagian wajah korban matanya terbuka lebar, terbelalak. Sangat tampak ekspresi ketakutan dan kepedihan. Korban-korban gempa di Yogya, Sukabumi, Padang, dan banyak tempat lain menunjukkan kesamaan.

Sebagai relawan yang mengurusi anak jalanan dan selalu berada di jalan atau tempat-tempat yang tergolong tidak aman atau daerah angker, sudah tiga kali saya melihat orang yang ditusuk perutnya sampai semua isi perutnya muncrat ke jalanan. Saya perhatikan betul, wajah mereka sungguh sangat mengerikan ekspresinya.

Semua itu menegaskan bahwa wajah jenazah bukan ditentukan oleh tipe wajah, kontur dan tekstur kulit wajah.  Bukan hanya mereka yang wafat karena bencana. Tidak sedikit orang yang wafat di rumah atau di rumah sakit, dalam keadaan normal, bukan bencana, tampilan wajahnya kadang membuat kita bertanya-tanya. Mengapa ekspresinya seperti itu?

Sakratul maut, saat Malaikat pencabut nyawa bertindak, ia tidak melakukannya seperti kita melepas celana atau kaus kaki. Mudah, simpel dan tak butuh banyak tenaga. Bagaimana tindakan sang Malaikat saat mencabut nyawa, sangat ditentukan oleh apa yang manusia lakukan sepanjang hidupnya.

Tidak mengherankan bila ekspresi wajah jenazah tidak sama. Keberbedaan itu sebagai akibat dari cara Sang Pencabut Nyawa mendatangi dan bertindak. Boleh jadi, dia datang bagai debt collector yang sangat berang karena cicilan hutang tak dibayar dua tahun lebih, atau bagai petugas KPK menggeledah rumah koruptor yang terkena operasi tangkap tangan. Bisa juga ia datang bagai kekasih yang memendam rindu dan dirasuki rasa kangen luar biasa. Bahkan mungkin bagai calon mantu yang hendak meminta izin pada calon mertua yang ingin menikahi anak perempuannya. Tak tertutup kemungkinan ia datang bagai istri tua yang menyerbu istri muda dengan membawa serta ketujuh anaknya.
Apa yang manusia lakukan sepanjang hidupnya diyakini menentukan bagaimana ia berpulang. Karena itulah ada istilah khusnul khotimah, berakhir dengan baik. Khusnul khotimah adalah cita-cita yang ingin dicapai orang-orang beriman.

Jadi, bagaimana seorang manusia menghadapi sakratul maut merupakan salah satu indikator bagaimna ia menjalani hidup. Jika ekspresi wajahnya tersenyum, itu tidak terkait dengan tipe wajah. Tetapi pertanda nyata bagaimana ia menjalani hidup.

Saya secara pribadi hakkul yakin, sangat percaya bahwa Bunda Tuty Alawiyah adalah manusia yang sangat baik. Manusia beriman yang benar-benar mau dan mampu mengejawantahkan keimanannya menjadi amal shaleh atau perbuatan baik setiap saat, sepanjang hidupnya.

Berasama sejumkah relawan yang mengurusi anak jalanan, anak pasar dan anak-anak daerah kumuh di DKI Jakarta, kami bertandang, bersilaturahmi bertemu beliau. Tidak seperti kebanyakan agamawan yang asyik dengan menjelaskan ayat Al Qu'an atau Hadis Nabi tentang kemiskinan, beliau mengemukakan sejumlah pertanyaan agar mendapatkan keterangan runci dari kami.

Beliau bertanya bukan karena tidak tahu. Sepanjang usianya digunakan untuk membantu dan memberdayakan kaum dhuafa atau orang-orang miskin. Karena itu beliau sudah sangat paham duduk sosalnya.  Beliau bertanya untuk mendapat informasi yang bersifat khusus.

Tidak sampai satu minggu, beliau bersama kami telah melakukan aksi nyata membantu keluarga-keluarga miskin di Luar Batang, keluarga buruh panggul dan nelayan kecil di Pasar Ikan. Beliau tidak datang untuk berceramah atau memberi tausiyah, tetapi menyambangi gubuk reot keluarga-keluarga tersebut. Memeluk dan mencium pipi para ibu, dan menggendong banyak bayi. Ia datang, hadir, menunjukkan perhatian dan empati.

Beliau  datang bukan sekadar untuk meresmikan program itu, tetapi secara berkala dan teratur menyambangi pemukiman kumuh itu dalam waktu yang panjang. Alhamdullillah, program yang sama bisa dikembangkan di tempat lain karena dukungan luar biasa dari beliau.

Beliau bukanlah tipe agamawan yang cuma omong di televisi dan berkeliling dari masjid ke masjid untuk bercermah dengan bayaran tinggi, menjadi model iklan, dan hanya terampil memberi tausiyah. Beliau adalah manusia beriman yang mewujudkan imannya dengan tindakan nyata, peduli dan berbagi khusus kepada orang-orang dhuafa.

Secara pribadi saya berkeyakinan, ekspresi senyum di akhir hidupnya adalah tanda bahwa Bunda Tuty Alawiyah sedang berbagi atau bersedekah saat menghadapi sakratul maut. Sebagaimana beliau lakukan sepanjang hayatnya. Bukankah senyuman itu adalah sedekah, perbuatan baik yang datang dari hati paling dalam.

SELAMAT JALAN BUNDA TUTY ALAWIYAH, SURGALAH BAGIMU.

Senin, 16 Mei 2016

NEUROSAINS DAN PENDIDIKAN (4)

Tidak ada manusia yang sama persis. Selalu saja ada perbedaan, sekecil apa pun perbedaan itu. Setiap manusia adalah unik. Inilah fakta tak terbantahkan tentang manusia. Semua manusia, dimana pun dan kapan pun.

Dalam tahun-tahun yang panjang, bersama para relawan yang bekerja pada Yayasan Nanda Dian Nusantara, kami melakukan kerja sosial di banyak daerah yang tergolong kumuh seperti Kebun Sayur Mangga Dua, Pasar Ikan dan Luar Batang, Pasar Ikan Muara Angke, Pasar Burung Jatinegara, Pasar Induk Kramat Jati, Perempatan Tomang, Perempatan By Pass-Pemuda-Pramuka, Perempatan By Pass-Utan Kayu, Stasiun Kereta Api Tanjung Priuk, Bongkaran Tanah Abang, dan Terminal Bus Grogol, serta beberapa lokasi Di Bogor. Kami membantu anak pasar dan anak jalanan.

Pastilah ada kesamaan di antara anak-anak itu dan keluarganya. Mereka semua miskin, tidak tinggal di rumah yang permanen, pekerjaan orang tuanya tidak tetap, ayah-ibu dan saudara-saudaranya berpendidikan rendah. Semua anak itu tanpa terkecuali pernah mengalami kekerasan yang dilakukan justru oleh orang tuanya dan orang-orang dekat lain seperti kakaknya. Kekerasan yang lengkap, mulai dari kekerasan verbal sampai fisik, dan psikis.

Anak-anak itu juga menjadi korban kekerasan oleh orang dewasa lain saat  mencari uang sebagai pengamen, pengemis, pemulung dan tukang parkir liar. Kekerasan bisa dan biasa dilakukan oleh petugas keamanan, kondektur angkutan umum, dan saingan sesama pengamen dan pemulung yang lebih dewasa.

Meski terdapat sejumlah kesamaan, namun keberbedaan lebih banyak dan menonjol. Secara umum jika ditinjau dari tingkat keliaran dan keberanian, anak jalanan Persimpangan Tomang menduduki peringkat pertama, Persimpangan By Pass-Pramuka pada peringkat dua, dan anak Pasar Burung Jatinegara yang paling bawah. Sedangkan bila dinilai berdasarkan kemampuan bekerja sama, maka peringkat pertama adalah anak Pasar Induk Kramat Jati, anak Pasar Burung Jatinegara pada peringkat kedua, dan anak Stasiun Kereta Api Tanjung Priuk yang paling bawah.

Apakah anak jalanan Persimpangan Tomang yang berbeda dibandingkan anak dari wilayah lain, memiliki sikap, sifat, dan perilaku yang seragam? Ternyata tidak. Anak-anak jalanan  Persimpangan Tomang yang berasal dari sejumlah daerah di Sumatera yang benar-benar sudah tidak berkomunikasi dengan keluarga, memiliki sikap dan karakter yang sangat berbeda dibandingkan teman-temannya yang tinggal di daerah kumuh sekitar Tomang yang masih berinteraksi dengan keluarga.

Di Perempatan Tomang, setiap anak menunjukkan keberbedaan dibandingkan teman-temannya. Meskipun bila berkumpul dengan anak-anak dari wilayah lain dalam acara Pesantren Ramadhan sangat terlihat ciri-ciri khas anak Tomang dibandingkan anak Muara Angke, dan anak-anak dari tempat lain.

Sebagai sebuah komunitas mereka terlihat memiliki kesamaan dibandingkan komunitas lain. Namun, dalam komunitas itu setiap anak tetap saja berbeda satu sama lain dan unik.

Bila berkumpul bersama anak-anak itu dalam waktu agak lama seperti Pesantren Ramadhan yang berlangsung 7-10 hari segera terlihat keunikan setiap anak. Ada anak yang sangat senang menggoda teman-temannya bahkan yang sudah tidur. Ada pula yang menghabiskan waktu membersihkan halaman yang digunakan untuk shalat Tarawih dan berbagai kegiatan. Ada yang asyik membaca Al Qur'an.

Anak-anak dari Pasar Induk Kramat Jati biasanya tidak bisa tidur pada malam hari. Karena di Pasar Induk Kramat Jati mereka bekerja mengutip sayur dan buah dari jam sembilan malam sampai pukul empat pagi, baru tidur setelah itu sampai siang. Karena itu mereka diberikan kegiatan menonton film-film keagamaan, membaca Al Qur'an, dan bergantian bercerita tentang diri dan pengalamannya. Sungguh setiap anak menunjukkan keberbedaannya dari anak yang lain. Mereka berlomba menunjukkan siapa dirinya yang berbeda itu.

Anak-anak pasar dan jalanan adalah anak-anak marginal perkotaan yang meski miskin dan kurang terdidik, namun selalu gembira, penuh semangat, optimis, sangat jarang mengeluh dan tidak gampang menyerah. Selalu bergembira, suka menolong teman, suka berbagi, dan setia kawan.

Bila dicermati dengan teliti akan terlihat perbedaan yang ditunjukkan anak-anak berasal dari banyak sebab. Anak-anak yang berasal dari luar Jakarta yaitu dari Palembang, Lampung, Banten, Tangerang, dan Pantura menunjukkan corak daerah yang terlihat dari cara bicara dan sejumlah perilaku. Anak-anak asal Sumatera terlihat lebih mandiri dan berani. Sementara anak-anak dari Pantura lebih menunjukkan kebersamaan dan kemampuan sosialisasi yang baik.

Setelah hidup bersama untuk waktu yang lama di jalan, terlihat sejumlah sikap dan perilaku hasil interaksi dan pergaulan di jalan. Ada sejumlah kesamaan sikap dan sifat. Kesamaan itu paling menonjol berupa keberanian, solidaritas, kekompakan, dan ucapan-ucapan yang cenderung kasar meskipun sedang bercanda. Kehidupan jalanan dan pasar memberi bekas sangat kuat pada diri setiap anak.

Apa yang dipaparkan tentang anak jalanan dan anak pasar, pastilah terjadi pada setiap anak dimana pun, apapun latar sosial ekonominya. Anak-anak itu tumbuh kembang, terus berubah dan berbeda dari yang lain.

Ada sejumlah pertanyaan yang sejak dahulu kala dikemukakan tentang tumbuh kembang manusia, perubahan dan perbedaannya. Apa yang membuat manusia berubah? Apa saja yang membuat manusia berbeda dari yang lain? Bukankah manusia merupakan keturunan dari sumber yang sama yaitu Adam dan Hawa, mengapa bisa menjadi sangat berbeda satu sama lain? Apa penyebabnya, bagaimana cara dan prosesnya sehingga menjadi sangat berbeda? Apakah perbedaan itu sampai pada molekul pembangun tubuh meskipun masih tampak sejumlah kesamaan? Proses apa yang pernah terjadi dan dilalui, sehingga setiap manusia yang berasal dari satu sumber itu memiliki kode gen yang berbeda? Bahkan anak kembar siam pun menunjukkan keberbedaan?

Ini pertanyaan klasik. Telah muncul sejak zaman kuno. Bila kita tengok dari bahan-bahan tertulis yang masih bisa dibaca sampai kini, paling tidak persoalan ini bisa ditelusuri sejak zaman Plato. Murid Socrates ini percaya bahwa manusia memiliki ide-ide bawaan dalam pikirannya. Jika manusia melihat piring di dunia ini. Piring itu pernah dilihatnya di Dunia Ide. Itulah sebabnya Plato percaya hanya rasio, tempat ide-ide bawaan itu bersemayam, yang memungkinkan manusia memperoleh kebenaran dan kepastian. Panca indra tidak bisa dipercaya karena sering tidak akurat, bahkan menipu. Plato percaya bahwa tumbuh kembang manusia merupakan pemekaran dan pelanjutan bawaan yang memang terlekat erat dalam diri tiap manusia.

Aristoteles, murid utama Plato, menentang gagasan gurunya tentang ide bawaan. Aristoteles percaya bahwa kepastian dan kebenaran harus dicari pada fakta-fakta empiris, fakta-fakta yang bisa diindrai. Dengan cara memeriksa fakta-fakta dengan cermat, kebenaran harus dibangun tahap demi tahap. Apa yang kemudian disimpulkan oleh rasio atau pikiran, tidak lebih dan tidak kurang merupakan hasil pengamatan terhadap realitas yang berisi fakta-fakta yang menjadi bahan bagi rasio untuk membuat kesimpulan. Dalam cara pikir itu diyakini tumbuh kembang manusia merupakan hasil interaksi manusia dengan lingkungan dimana si manusia itu berada.

Perbedaan pandangan antara Plato dan Aristoteles digambarkan secara sangat jelas dalam lukisan Mazhab Athena yang dibuat oleh Raphael Sanzio. Lukisan itu menunjukkan filsuf zaman pencerahan yang berkumpul dengan filsuf Romawi danYunani Kuno. Pada pusat lukisan berdiri berdampingan dua filsuf besar yaitu Plato yang menunjuk ke atas, dan Aristoteles yang menunjuk ke bawah. Plato adalah tokoh "dunia atas" atau dunia ide, dan Aristoteles adalah tokoh "dunia bawah" atau dunia empiris.

Perbedaan pandangan kedua tokoh ini menyebabkan mereka menyelenggarakan pendidikan dengan cara atau metode yang tidak sama. Di Akademi Plato tempat Aristoteles belajar, para siswa dilatih matematika dan logika. Cara yang paling ditonjolkan adalah berdiskusi dan berdebat mengikuti dialektika Socrates, yaitu tanya jawab kritis. Pendekatan deduktif analitis model matematika menjadi cara yang dipraktikkan untuk mencari kepastian dan kebenaran. Diyakini di Akademi Plato ada aturan berbunyi yang tidak bisa matematika dilarang masuk.

Aristoteles mendirikan Lyceum Aristoteles. Cara yang digunakan Plato tidak menjadi pilihan utama. Aristoteles juga mengajarkan logika dan matematika. Tentu saja menggunakan buku yang ditulisnya yang sampai kini masih dibaca banyak orang. Tetapi pendekatan yang dominan adalah induktif, beranjak dari data dan kejadian. Ia memberi kesempatan pada para pembelajar untuk menyaksikan pembedahan mayat. Dengan demikian para pembelajar bisa melihat langsung bagian dalam tubuh manusia. Aristoteles terbiasa dengan pembedahan karena ayahnya seorang dokter.

Aristoteles meminta para pembelajar yang berasal dari berbagai tempat yang berbeda, ada yang berasal dari perkotaan, pedesaan, daerah pesisir, dataran tinggi untuk secara cermat mencatat apa saja yang terdapat di daerah masing-masing. Mulai dari jenis pohon, binatang, ciri orang, makanan, sejumlah sikap dan berbagai hal yang bisa diamati. Setelah itu para pembelajar memaparkan temuannya dalam diakusi terbuka.

Dengan cara itu Aristoteles mendorong para pembelajar menelaah lebih jauh apa yang menyebabkan perbedaan antara pohon di pantai dan dataran tinggi, juga perbeadan binatang, makanan dan manusia. Perbedaan yang terdapat pada manusia terlihat mulai dari fisik sampai perilaku dan kebiasaan. Inilah pembelajaran dengan pendekatan induktif yang mendorong pembelajar untuk mengalami dan menghayati.

Rupanya pertentangan guru-murid ini merupakan akar kontroversi tentang perubahan, perkembangan, dan perbedaan manusia yang sampai kini belum pernah bisa diselesaikan secara tuntas. Kaum rasionalis yang dengan setia mengikuti Plato memertahankan adanya ide bawaan pada manusia. Munculah pandangan nativisme yang meyakini bahwa perkembangan anak mengikuti bawaan yang melekat pada anak. Rousseau pendukung nativisme dikenal dengan konsep "noble savage" anak membawa dasar yang baik dan positif dalam dirinya, masyarakatlah yang merusaknya. Schopenhauer dan Pestalozzi merupakan pendukung nativisme. Dalam khazanah ilmu, psikologi kognitif mengikuti dan memertahankan pendapat tentang adanya ide bawaan dalam diri manusia.

Sedangkan kaum empiris mengikuti dan terus mengembangkan pemikiran Aristoteles. Locke salah seorang filsuf empiris terkenal dengan teori "tabula rasa", anak bagai kertas kosong, lingkungan yang menentukan perkembangannya. Psikologi behaviorisme melakukan sejumlah penelitian untuk membuktikan tidak ada ide bawaan. Manusia dibentuk dan dipengaruhi oleh lingkungan. Pengkondisian menjadi konsep penting.

William Stern tersohor sebagai tokoh yang memperkenalkan teori konvergensi, sebuah upaya yang mencoba mensintesiskan dua pandangan yang bertentangan itu. Pastilah tidak mudah dan agak sulit dipertahankan. Itulah sebabnya dua pandangan itu masih merupakan kontroversi sampai kini.

Persoalan merumit saat penelitian-penelitian genetika memastikan bahwa gen ternyata membawa dan meneruskan warisan dari orang tua yang ikut menentukan bukan saja dimensi fisik manusia, juga dimensi psikisnya. Karena itu tidak usah terkejut jika ada yang mengomentari bayi yang baru lahir dengan ungkapan, hidungnya seperti kakeknya. Gen memungkinkan itu. Menjadi problematis bila ungkapan itu berupa, matanya mirip tetangga sebelah. Walah.

Keyakinan bahwa gen tidak dapat berubah bertahan cukup lama. Namun, penelitian-penelitian mutakhir dalam genetika dan berbagai upaya yang dilakukan sebagai bagian dari perkembangan rekayasa genetika, kini diyakini bahwa gen bisa berubah. Tetapi seberapa besar perubahan itu terjadi, belum dapat dijelaskan dengan rinci dan tuntas.

Khusus untuk perkembangan kognitif anak ada dua tokoh yang paling populer yaitu J. Piaget dan Vygotsky. Keduanya secara tersurat menolak pendirian nativisme. Keduanya dikategorikan dalam aliran konstruktivisme. Aliran yang meyakini bahwa anak adalah makhluk aktif yang merekonstruksi pengetahuannya. Anak bukanlah gelas kosong yang bisa diisi penuh dengan air. Anak tidak pasif sebagaimana gelas kosong yang diisi air minum. Ada upaya si anak untuk merekonstruksi pengetahuan melalui serangkaian upaya sesuai dengan tingkat perkembangannya.

Konstruktivisme mengakui anak aktif membangun pemahaman. Namun, ada perbedaan antara Piaget dan Vytgotsky. Vygotsky menekankan pentingnya relasi dan interaksi anak dengan lingkungan sosial. Relasi dan interaksi itulah penentu perkembangan anak. Sedangkan Piaget tampaknya agak abai dengan dimensi sosial ini. Itulah sebabnya Piaget dan para penerusnya yakin bahwa perkembangan kognitif anak merupakan tahapan yang berlaku universal. Vytgotsky membuka kemungkinan yang lebih luas karena anak bisa tidak sampai atau melampaui tahapan-tahapan yang direkonstruksi Piaget. Penentunya adalah relasi dan interaksi sosial yang dialami anak.

Dalam neurosains topik yang diurai di atas juga memunculkan perdebatan. Apakah manusia memang memiliki bawaan yang melekat dalam sistem otaknya atau perkembangan otak dan kemanusiaannya  ditentukan oleh interaksi dengan lingkungan? Apakah perkembangan otak manusia mengikuti hukum-hukum yang berlaku universal atau ikut ditentukan oleh konteks sosial dan memiliki corak yang khas?

Michel Ferrari & Lijljana Vuletic (eds.) dalam buku Developmental Relations among Mind, Brain and Education (2010:332), menyatakan,

"stage of development are not universal, rather they are developed locally through experience, with the support of biological mechanisms and cultural practice."

Tidak universalnya tahapan perkembangan anak, tetapi lebih bersifat lokal melalui pengalaman tentu saja merupakan kenyataan yang bisa dengan sangat jelas ditemukan dalam kehidupan sehari-hari. Lihatlah perbedaan nyata antara anak-anak yang dibesarkan di perkotaan dan pedesaan, antara anak-anak yang dibesarkan di Sumatera dan Jawa. Mereka berbeda karena hidup dalam tradisi budaya yang berbeda.

Perbedaan itu tampak secara nyata pada bahasa, cara bicara, bahkan sampai pada selera makan. Meskipun kini ada penyeragaman selera karena banyak resto sejenis dengan makanan yang sama tersebar nyaris di seluruh negeri, namun tetap saja perbedaan selera itu tetap ada dan bertahan.

Karena itu sebagai akibatnya bukan hanya selera yang berbeda. Boleh jadi pencernaan kita juga berbeda. Hasil penelitian menunjukkan betapa berbedanya pencernaan orang Jepang dengan orang Amerika Serikat disebabkan kebiasaan memakan makanan yang berbeda, sehingga penyakit pencernaan paling dominan yang diderita orang Jepang tidak sama dengan orang Amerika Serikat. Jika pencernaan orang Padang dan orang Sunda diteliti, boleh jadi banyak perbedaannya.

David Disalvo dalam Brain Changer: How Harnessing Your Brain's Power To Adapt Can Change Your Live (2013) menegaskan bahwa manusia adalah satu-satunya makhluk yang memiliki kemampuan membangun relasi dan organisasi sosial. Konsekuensinya, otak manusia tidak berkembang di ruang kosong, di dalam isolasi, tetapi merupakan hasil interaksi dengan lingkungan sosikultural.

Kuatnya pengaruh lingkungan sosiokultural pada mansuia memang sulit dibantah. Jejaknya tampak pada anak-anak pasar dan anak jalanan yang kami bina. Mereka berani, namun keberanian mereka tidak sama. Tampaknya lingkungan tempat mereka dibesarkan memberi corak sangat kental terhadap ungkapan keberaniannya.

Anak-anak Pasar Induk Kramat Jati, perempuan dan lelaki, berusia enam sampai dengan lima belas tahun setiap malam berkejaran mengikuti truk yang masuk ke Pasar Induk membawa buah atau sayur. Mereka berlari kencang untuk menggantung pada bagian belakang truk. Seringkali mereka dimarahi dan dimaki kernet truk atau satpam. Karena tindakan mereka sangat berisiko.

Mereka mengejar truk untuk mendapatkan buah atau sayur yang berjatuhan saat pintu belakang truk dibuka dan kala buah dan sayur diangkat. Mereka berebutan antara sesamanya. Keadaan akan makin mengerikan jika musim hujan. Sering terjadi mereka terjatuh sampai ada bagian tubuhnya yang cedera. Bahkan ada yang terpaksa dirawat di rumah sakit karena kepalanya terkena pintu truk yang dibuka. Pekerjaan itu membuat mereka berani dan kuat. Namun, tidak berani bila harus menghadapi anak-anak sebaya yang iseng mengganggu mereka. Berbeda dengan anak Persimpangan Tomang yang sebaya dengan mereka. Karena harus bersaing dengan banyak orang di jalan atau di bus saat mengamen, mereka berani menghadapi siapa pun yang mengganggu.

Sama beraninya, tetapi beda cara ungkapnya. Sebab anak-anak Pasar Induk Kramat Jati bersaing dengan sesama teman yang dikenal dan hidup bersama. Sedangkan anak Persimpangan Tomang harus bersaing dengan orang yang tidak dikenal. Lingkungan dan pengalaman yang berbeda, memunculkan sikap dan perilaku yang berbeda.

Keberbedaan itu bisa muncul dengan cara lain. Selama masa yang sangat panjang, sejak tahun delapan puluhan sampai sekarang saya berulang-ulang mengunjungi Baduy, Kampung Naga, Dieng dan Bromo. Sewaktu SMA dan kuliah mengikuti semangat petualangan. Sejak mengajar, membawa mahasiswa melakukan berbagai kegiatan. Di Baduy terlihat terjadi perubahan mendasar, terutama di kalangan anak-anak dan generasi mudanya. Sebagai akibat semakin berubahnya lingkungan sosial.

Pada tahun delapan puluhan hanya beberapa gelintir orang Baduy yang bermukim di kampung di luar perkampungan tradisional orang Baduy yang berada di dalam hutan. Kampung di luar hutan itu kemudian disebut sebagai Baduy Luar. Penduduk Baduy Luar berinteraksi dengan penduduk selain orang Baduy untuk berbagai keperluan. Semakin lama, penduduk Baduy Luar terus bertambah. Kini penduduk Baduy Luar menempati beberapa pemukiman. Sementara itu terdapat pula pemukiman atau perkampungan yang kami sebut sebagai Baduy Tengah. Karena terletak di antara Baduy Luar dan Baduy Dalam.

Ada yang menarik untuk diperhatikan yaitu perbedaan perilaku anak-anak dari ketiga kampung ini. Anak-anak dan remaja Baduy Luar bisa berbahasa Indonesia bercampur dengan bahasa Sunda. Mereka mengenakan baju kaos bertuliskan Barcelona, Arsenal atau bergambar para hero seperti Spiderman. Mereka biasa menonton televisi dan ikutan bermain games bersama anak-anak yang bukan orang Baduy. Para remaja Baduy Luar sudah terbiasa dengan telepon genggam.

Anak-anak dan remaja Baduy Tengah lebih sering berkumpul dengan anak-anak dan remaja Baduy Luar. Meski banyak kesamaan dengan anak-anak dan remaja Baduy Luar, mereka tidak seberani dan seterbuka anak-anak dan remaja Baduy Luar. Karena masyarakat Baduy Tengah lebih memegang dan melaksanakan tradisi masyarakat Baduy dibandingkan masyarakat Baduy Luar.

Berbeda dengan anak-anak dan remaja Baduy Luar dan Baduy Tengah, anak-anak dan remaja Baduy Dalam sangat berbeda. Mereka relatif hidup dengan nilai-nilai asli Baduy. Menghabiskan waktunya untuk bekerja dan bermain. Mereka adalah anak-anak dan remaja yang kuat dan pekerja keras. Sering terlihat mereka membawa sayuran, gula merah, bahkan durian dalam jumlah banyak untuk dijual ke perkampungan yang dekat dengan Baduy Dalam. Mereka hanya bisa berbahasa Sunda. Jika sedang berkumpul dengan anak-anak dan remaja Baduy Luar dan Baduy Tengah sangat tampak perbedaannya. Mulai dari perbedaan penampilan fisik sampai dengan pembedaan perilaku.

Semua anak-anak dan remaja Baduy oleh aturan tradisi yang dilaksanakan turun temurun tidak boleh bersekolah. Tradisi ini berlaku bagi semua anak-anak dan remaja Baduy tanpa terkecuali. Bukan berarti mereka tidak bisa cerdas karena tradisi itu. Namun, tradisi ini membuat anak-anak dan remaja Baduy mengalami sejumlah kesulitan saat berinteraksi dengan orang luar dan kehidupan di luar lingkungannya.

Anak-anak dan remaja Baduy telah banyak berubah akibat interaksi yang lebih intensif dengan orang luar. Apalagi jumlah penduduk Baduy Luar semakin banyak. Perubahan yang terjadi ini tidak direncanakan. Terjadi karena perpindahan penduduk dari dalam hutan ke pemukiman penduduk yang terletak di perkampungan. Perkampungan Baduy Luar sejak dulu bersifat terbuka. Tidak seperti perkampungan Baduy Dalam yang sejatinya tertutup dari kehadiran dan keberadaan orang luar. Namun, banyaknya orang luar yang berwisata ke Baduy Dalam memberikan pengaruh terhadap penduduk Baduy Dalam. Meskipun pengaruh itu tidak sedahsyat seperti yang dialami penduduk Baduy Luar.

Pengaruh itu pastilah terjadi sampai mengubah pola-pola di dalam otak dan sejumlah perilaku, sikap, sifat dan kebiasaan yang bisa diamati. Perubahan ini membuktikan bahwa otak manusia memang sangat dipengaruh oleh tradisi, budaya, dan lingkungan fisik dan sosial dimana manusia itu berada dan dibesarkan.

Meski anak-anak dan remaja Baduy, anak-anak jalanan dan pasar sama-sama dipengaruhi oleh lingkungan sosiokultural, tetapi mereka tumbuh kembang sebagai anak-anak yang sama sekali berbeda. Sebab lingkungan sosiokultural tempat mereka tumbuh kembang sangat berbeda. Dengan demikian kebiasaan, nilai-nilai, dan perilaku yang tertanam dalam benak mereka sama sekali berbeda.

Eric. B. Shiraev dan David. A. Levy dalam Psikologi Lintas Kultural: Pemikiran Kritis dan Terapan Modern (2012:130-131) menjelaskan hasil-hasil penelitian sebagai berikut, 

Anak dari keluarga kaya cenderung melihat koin lebih kecil dari ukuran sebenarnya, sedangkan anak keluarga miskin melihatnya tampak lebih besar dari sebenarnya. Peneliti berpendapat bahwa kebutuhan akan uang di kalangan anak miskin memengaruhi persepsi mereka terhadap koin. Orang yang tinggal di gurun tidak mengalami penurunan daya dengar seperti yang dialami oleh penduduk kota besar.

Ibnu Khaldun (1332-1406) yang diakui sebagai bapak sosiologi, historiografi, dan ekonomi, telah melakukan penelitian dan membuat sejumlah kesimpulan tentang perbedaan manusia karena pengaruh lingkungan tempat ia tinggal dan dibesarkan. Jadi temuan ini bukan sesuatu yang baru.

Shinobu Kitayama dan Dov Kohen ed. dalam Handbook of Cultural Psychology (2010) menegasakan bahwa pengaruh kultur sangat kuat dalam tumbuh kembang anak. Semua dimensi kemanusiaan anak yaitu persepsi, memori, kognisi, emosi, cita rasa, perilaku, kepribadian, kebiasaan, dan karakter dipengaruhi dan ikut dibentuk oleh lingkungan kultural dalam interaksi yang sangat rumit. Secara khusus neurosains sangat memerhatikan pengaruh ini.

Meskipun otak manusia secara fisik biologis tampak sama antara satu manusia dibandingkan manusia lainnya, namun jangan pernah berpikir bahwa otak manusia sungguh-sungguh sama persis. Bila diteliti dengan teknologi canggih pemindai otak akan sangat terlihat perbedaannya.

Perbedaan itu merupakan akibat dari banyak faktor yang telah ikut membentuk otak sejak bayi dalam kandungan. Sejumlah faktor yang bisa ikut menentukan adalah kesehatan fisik dan psikis saat ibu hamil, asupan nutrisi, dan apakah si ibu pernah mengalami penyakit, merokok, atau memiliki kebiasaan menikmati alkohol saat hamil.

Berdasarkan sejumlah penelitian terbukti bahwa ibu hamil yang mengalami stres berkepanjangan menyebabkan bayinya mengalami kerusakan otak permanen. Orang yang mengalami stres memproduksi lebih banyak hormon kortisol. Banyak sekali akibat karena meningkatnya hormon kortisol. Salah satu akibat adalah mengentalnya darah. Pengentalan darah membuat darah tidak lancar dan kemampuannya mengalirkan oksigen menjadi menurun. Akibatnya otak si ibu dan si bayi mengalami kekurangan pasok oksigen.

Kekurangan pasok oksigen memberi pengaruh sangat buruk bagi tumbuh kembang otak si bayi. Jika ibu hamil mengalami stres berkepanjangan bisa dipastikan otak si bayi akan rusak secara permanen. Dalam Who Switched Off My Brain? Controlling Toxic Thoughts and Emotions (2007), Caroline Leaf menguraikan secara rinci berbagai penelitian tentang tumbuh kembang otak anak dan bermacam ancaman yang bisa merusak otak secara permanen.

Fakta di atas semakin menegaskan bahwa otak manusia memang sangat dipengaruhi oleh lingkungan fisik dan kultural. Fakta ini sama sekali tak terbantahkan.

Otak juga dipengaruhi oleh teknologi. Kini kita menikmati era digital. Nyaris semua orang sudah terbiasa dengan telepon genggam dan gadget. Kita berkomunikasi, bermain, berkarya menggunakan teknologi digital. Sementara itu anak-anak dan remaja kita tenggelam dalam kenikmatan games yang menghabiskan banyak waktu. Ternyata kekerapan menggunakan dan menikmati teknologi digital bisa memberi pengaruh terhadap otak.

Susan Greenfield dalam Mind Change: How digital technologies are leaving their mark on our brains (2015:210) menjelaskan, video games dapat sangat merusak otak dan perilaku. Ia menjelaskan siklus bertahap yang dialami oleh penggila games. Ada sembilan tahap dalam siklus yang membuat para penggila games mengalami gangguan. Kesembilan taha itu adalah:

1. Intense stimulation of screen: fast responce
2. High arousal, high levels of dopamine release
3. Reward-seeking addictive behaviour
4. Dopamine released
5. Dopamine causes PFC (prefrontal cortex) hypo-function
6. Mindset of childhood, schizophrenia, obesity, gambler
7. Action have no consequences
8. Drive: sensation over cognition
9. Greater appeal of a screen environment?

Tahapan yang berupa siklus itu menunjukkan betapa games secara bertahap dan pasti merusak otak dan perilaku penggemarnya. Ketergantungan pada games tak ubahnya bagai kecanduan pada narkoba. Harus dipenuhi, jika tidak pelakunya akan mengalami sejumlah gangguan. Gangguan yang terus meningkat sampai tingkat yang membahayakan si gamers atau penggila games.

Tentu saja akan sangat berbeda jika games yang dimainkan dipilih dengan baik dan waktu bermainnya dijadwalkan dalam porsi waktu yang terukur. Dengan cara pemilihan games dan pengaturan waktu, pastilah games bisa sangat berguna. Karena sejumlah games bisa menumbuhkan empati. Terutama yang tergolong Role Playing Games (RPG). Salah satu contoh RPG adalah pemainnya memerankan dokter yang membantu orang kecelakaan. Ia harus mengambil tindakan cepat dan hati-hati, berusaha sekuat tenaga dengan pikiran fokus agar si korban dapat diselamatkan.

Apa yang kita konsumsi juga sangat memengaruhi otak.  Dalam Scientific American, Mind, Behavior, Brain Science, Insights, Volume 27, Number 2, March/April 2016 dengan topik The Best Diet for Your Brain: Optimal Eating to Stay Happy and Sharp, diuraikan bahwa menu tradisonal di Mediteranian, Okinawa, dan Skandinavia terbukti sangat menyehatkan, bukan saja bagi tubuh, terutama untuk otak. Menu Mediteranian terbukti dapat menurunkan stres sampai dengan tiga puluh persen. Pengaruh ini terjadi karena menu dimaksud mengandung omega tiga yang berasal dari ikan sarden, tuna, dan salmon, serta sayur dan buah yang mengandung antioksidan.

Karena itu bukanlah suatu kebetulan bila 3000 tahun sebelum Masehi peradaban terbentuk di daerah yang subur dan memiliki sungai yang besar yaitu di lembah Mesopotamia yang terletak di antara sungai Efrat dan Tigris, di Mesir yang terletak di tepian sepanjang Sungai Nil, dan di Sungai Indus, serta Sungai Kuning di Cina.

Mengapa peradaban muncul di daerah tepian sungai? Ini ada kaitannya dengan makanan yang dihasilkan sungai yaitu ikan. Ikan terbukti sangat membantu tumbuh kembang otak dan mampu meningkatkan kinerja otak. Sungai juga merupakan jalur transportasi utama, tempat orang berkumpul, bertemu, berkomunikasi dan berinteraksi. Interaksi memungkinkan orang-orang berkomunikasi bertukar kabar, informasi, dan gagasan. Pastilah situasi ini dapat memicu kinerja otak menjadi lebih baik. Tentu saja kedua hal di atas tidak bakal ditemukan di Sungai Ciliwung.

David Perlmutter dan Kristin Loberg dalam Grain Brain: The Surprising Truth About Wheat, Carbs, and Sugar, Your Brain's Silent Killers (2013), menegaskan bahwa beragam gangguan otak seperti sakit kepala kronis, depresi, epilepsy, dan penyakit otak lain bukan disebabkan oleh gen, tetapi apa yang dimakan. Disfungsi otak dimulai dengan makan roti setiap hari.

Jika diperhatikan dengan seksama lingkungan sekitar kita. Betapa banyak kini anak-anak yang autis, hyperaktif, mengalami kesulitan belajar, mengidap tumor otak dan gangguan otak lain. Bukankah peningkatan jumlah anak-anak yang mengalami gangguan yang berpusat di otak ini sejajar dengan semakin banyaknya anak-anak yang menikmati makanan pabrikan setiap hari? Makanan yang menggunakan pengawet dan beragam penyedap rasa yang merupakan olahan bahan kimia.

Tidak berlebihan bila Guy McKhann dan Marilyn Albert dalam Keep Your Brain Young (2010) dan Pangkalan Ide dalam buku Agar Otak Sehat: Bahan Pangan Pilihan untuk Menjaga Otak Tetap 'Awet Muda' dan Mencegah Stroke dan Demensia (2013) menganjurkan  menjaga makanan setiap hari agar otak tetap sehat dan segar. Kedua buku itu secara spesifik menjelaskan menu makanan sehat bagi otak dan makanan yang dapat merusak otak. Sejumlah makanan yang direkomendasikan bagi kesehatan otak adalah ikan, kacang mete, blueberry, pisang, avokad, bayam, wortel, almond, tomat, kurma, walnut atau kacang kenari, selada air, paprika, teh hijau, susu kedelai, jamur kuping, melon, jamur kuping, cokelat, susu dan telur. Tentu saja harus sangat memerhatikan porsi. Prinsip dasarnya adalah tidak boleh berlebihan.

Semakin terbukti bagaimana otak dipengaruhi oleh lingkungan sosiokultural. Bahkan secara biologis dan kimiawi, otak juga sangat ditentukan lingkungan sosiokultural terkait dengan kebiasaan mengonsumsi makanan.

Neil R. Carlson dalam Fisiologi Perilaku Jilid 1(2012:3) menegaskan, kita tahu bahwa kesadaran dapat berubah akibat perubahan pada struktur atau kimia otak.

Contoh paling nyata dan mudah dari penegasan Carlson bisa kita saksikan pada pecandu alkohol dan narkoba. Bagaimana perilaku mereka jika telah menenggak alkohol dalam jumlah berlebihan. Mereka memiliki kesadaran dan perilaku yang sangat berbeda dibandingkan sebelum meneggak alkohol.

Lingkungan sosiokultural bahkan bisa memengaruhi otak dengan cara yang sangat mengerikan melalui metode-metode tertentu seperti cuci otak. Dalam Scientific American Mind, Behavior, Brain Science, Insights, Volume 27, Number 3, May/June 2016 dengan topik The Mind Of A Terrorist: What psychology tells us about countering extremism, diuraikan bagaimana orang bisa menjadi teroris  sadis.

Jangan mengira bahwa para teroris itu adalah orang-orang yang psikopat, jahat, dan sadis pada mulanya. Mereka adalah orang-orang yang normal bahkan baik. Namun saat 'dibina' dalam kelompok khusus yang dengan canggih, sistematis dan terstruktur memerhatikan, mengistimewakan, dan meyakinkan dengan mengedepankan memori dan emosi serta mengebawahkan akal, jika akal digunakan pastilah yang dikedepankan akal instrumental yang lebih fokus menjelaskan persoalan-persoalan teknis praktis dan menghindari pembahasan kritis tentang substansi, mereka berubah menjadi manusia dengan keyakinan dan cara berfikir yang sama sekali berbeda.

'Cuci otak' yang dilakukan  saat pembinaan membuat mereka melihat, memersepsi dan memahami realitas dengan cara yang sama sekali berbeda, bahkan bertentangan dengan sebelumnya. Mereka diberi pemahaman dan keyakinan baru tentang sejumlah konsep-konsep kunci seperti jihad.

Akibatnya mereka mau dan mampu melakukan perbuatan sadis, kejam, dan tak bernurani membunuh manusia, bahkan dengan cara membunuh diri. Mereka mau lakukan tindakan sadis tersebut karena meyakininya  sebagai jalan kebenaran untuk memeroleh surga.

Ini bukti bahwa otak itu rentan. Bukan saja dalam pengertian bisa dan gampang sakit atau rusak karena pengaruh lingkungan, makanan atau virus. Juga dalam arti gampang dipengaruhi, direkayasa, dan dikendalikan.

Terutama pada manusia yang masih tumbuh kembang yaitu anak-anak dan remaja. Oleh karena itu, 'para pengantin' sebutan bagi para pelaku bom bunuh diri kebanyakan merupakan remaja, sebagian besar berpendidikan rendah, dan secara ekonomis masuk golongan tengah dan bawah.

Mengapa remaja sangat mudah dipengaruhi? Frances E. Jensen dan Amy Ellis Nutt dalam The Teenage Brain: A Neuroscientist's Survival Guide To Raising Adolescents And Young Adults (2015) menegaskan bahwa ciri utama otak remaja adalah gampang terpengaruh. Kondisi ini terkait, antara lain, dengan kenyataan bahwa remaja sedang mengalami perubahan yang sangat kompleks terkait pematangan bagian-bagian otak dan mulai berpengaruhnya hormon-hormon seksual. Karena itu remaja sangat rentang terhadap pengaruh lingkungan sosio kuktural, terutama teman-teman sebaya atau orang dewasa yang dengan sengaja memengaruhi mereka.

Dalam kehidupan sehari-hari kita saksikan betapa mudah para remaja
dipengaruhi atau mengikuti teman sebaya. Dalam kasus semakin banyaknya kalangan remaja menjadi pecandu narkoba dan semakin meningkatnya pergaulan bebas remaja, penyebabnya adalah dorongan teman sebaya.

Tengoklah kejadian mengerikan pemerkosaan dan pembunuhan yang dilakukan terhadap YY oleh empat belas lelaki. Pelakunya yang masih remaja sembilan orang dan dewasa lima orang. Pada mulanya keempat belas orang ini nongkrong dan menikmati minuman keras. Pastilah  keputusan untuk berkumpul merupakan kesepakatan yang dibuat atas dasar pertemanan sebagai anak sebaya.

Kemudian apa yang dilakukan bisa diduga merupakan kesepakatan yang dilakukan karena bentuk setia kawan yang menunjukkan sikap kebersamaan. Kebanyakan remaja merasa tidak nyaman bahkan takut jika tidak mengikuti suara mayoritas dalam kelompok teman sebaya karena takut diusir dan dikucilkan. Sebagai akibatnya mereka mau melakukan apa saja agar bisa tetap diterima dan berada dalam geng atau kelompok itu. Dapat dipastikan cara berpikir seperti itulah yang melandasi tindakan keempat belas pelaku pemerkosaan dan pembunuhan terhadap YY. Apalagi mereka semua sudah berada dalam pengaruh alkohol.

Keputusan dan tindakan mereka dapat dipastikan brutal dan melampaui batas. Sangat beralasan menghukum mereka seberat-beratnya karena ada unsur merencanakan dalam tindakan itu. Harus dicari siapa inisiator di antara keempat belas pelaku. Sebab semua tindakan yang dilakukan dalam konteks teman sebaya pasti ada inisiatornya.

Pengaruh teman sebaya pada remaja memang sangat kuat. Bisa dibayangkan betapa kuatnya pengaruh itu bila dengan sengaja, sistematis, dan terstruktur para remaja dibina untuk menjadi teroris. Fakta ini menegaskan betapa otak manusia, terutama yang sedang tumbuh kembang, mudah dipengaruhi dan direkayasa.

Richard Brodie dalam Virus Akal Budi: Ilmu Pengetahuan Baru tentang Meme (2014) menegaskan betapa kuatnya tekanan teman sepergaulan atau teman sebaya terhadap akal budi dan tindakan. Brodie percaya akal budi bekerja sebagai gabungan naluri dan pemrograman memetika. Pemograman memetika itu sangat banyak ragam dan jenisnya. Mulai dari berbagai aturan yang diajarkan sejak kecil, pengasuhan dan pendidikan, tradisi, iklan, siaran televisi, sampai beragam kejadian dan kebiasaan yang dialami dalam konteks sosial yang secara langsung atau tidak memengaruhi akal budi kita. Brodie menyebutnya virus akal budi. 

Uraian panjang di atas bisa disalahfahami, paling tidak bisa dituduh sebagai cara berfikir behaviorime yang percaya bahwa manusia sepenuhnya ditentukan oleh lingkungan fisik dan sosial budaya melalui model stimulus-respon yang secara canggih dibuktikan dengan eksperimen yang dilakukan oleh Pavlov dan para behavioris lain.

Paling tidak para pembuat iklan berhasil menggunkan cara ini dengan kecanggihan dan penghalusan yang luar biasa untuk memengaruhi orang agar membeli produk yang mereka iklankan. Tidak sedikit manusia, terutama para remaja yang merasa dirinya ketinggalam zaman atau tidak keren karena tidak menggunakan produk yang oleh iklan ditegaskan sebagai tanda kemajuan dan kekerenan penggunanya.

Harus ditegaskan bahwa pandangan behaviorisme salah tentang manusia, meski behaviorisme memiliki kegunaan terbatas dalam banyak bidang, terutama pendidikan dan marketing. Behaviorisme berkutat dengan pentingnya lingkungan sebagai penentu yang sangat berpengaruh bagi perkembangan otak dan perilaku manusia.

Begitu penting dan menentukannya lingkungan sampai-sampai mereka kurang memerhatikan otak dan pikiran itu sendiri. Kaum behavioris terlalu menekankan dimensi eksternal yaitu lingkungan dan kurang memerhatikan dimensi internal yaitu sifat kodrati otak dan kaitannya dengan pikiran.

Apalagi kaum behavioris terpeleset pada keyakinan determinis yang merendahkan manusia. Mereka yakin bahwa sepenuhnya manusia itu ditentukan oleh stimulus yang datang dari luar dirinya yaitu lingkungan fisik dan sosial budaya. Mereka seakan dibutakan pada kemampuan manusia untuk menentukan, alpa pada kebebasan yang dimiliki dan dirasakan manusia. Kebebasan yang membuat manusia bisa mengambil keputusan dan tindakan yang tidak sesuai dengan skema atau model stimulus-respon.

Mereka lupa bahwa manusia seringkali mampu mengatasi tekanan dan pengaruh lingkungan. Manusia adalah makhluk yang mampu melampaui pengaruh negatif lingkungan. Bahkan ketika manusia itu masih kanak-kanak. Berikut sebuah kisah.

Seorang anak lelaki berusia empat tahun delapan bulan tinggal di tempat akhir pembuangan sampah di gubuk reyot yang sempit. Ibunya seorang pemulung, kakak lelakinya juga. Ia memiliki adik tiri yang terkena folio.

Ayah tirinya adalah seorang preman yang suka mabuk dan berjudi. Ibu si anak terpaksa menikah dengan si bapak tiri karena diancam akan dibunuh. Tidak ada seorang pun yang berani membela si ibu karena preman itu sangat ditakuti. Si preman sering memaki dan memukul kedua anak tirinya, bahkan mengambil sepeda si anak tiri yang dibeli dengan susah payah oleh si anak yang menjadi pemulung. Si anak tiri yang lebih besar lari dari gubuk reyot itu sejak sepedanya dirampas si ayah tiri.

Di lingkungan pemukiman yang merupakan tempat pembuangan akhir sampah itu, kondisi fisiknya sangat jorok dan dipenuhi bau busuk. Kekerasan merupakan kebiasaan, anak-anak sangat terbiasa dengan makian dan ungkapan-ungkapan kotor. Sebagian anak bahkan terbiasa mencuri.

Si anak lelaki yang berumur empat tahun delapan bulan merupakan anak yang rajin dan sangat baik. Di pagi hari saat ibunya mulung, ia menjaga, memandikan, dan membuatkan susu untuk adik tirinya yang terkena folio. Sebenarnya ia mengalami kesulitan mengurusi adiknya, namun ia mengerjakannya dengan senang hati. Beberapa tetangga kadang membantunya.

Bila ibunya pulang mulung, ia segera mandi, sarapan dan bersekolah di TK Anak Sholeh yang khusus untuk anak seperti dia. Di sekolah ia terkenal sebagai anak yang baik, sabar, rajin dan pintar membuatkan mainan untuk teman-temannya. Bila sekolah berakhir, ia membantu para guru membereskan peralatan. Ia biasanya diajak makan siang oleh para guru.

Tidak pernah ia terdengar mengeluh atau memaki. Bila diisengi teman-temannya, ia memilih berkumpul bersama para guru. Ia sungguh seperti intan berkilau dalam lumpur hitam. Pengaruh buruk lingkungan fisik dan sosiokultural seakan tidak menjamahnya. Semua ini terjadi karena cinta, kasih sayang, kesabaran dan keteladanan ibunya. Ini bukti, manusia bisa lampaui lingkungannya.

Ada cerita lain yang juga terjadi di pemukiman kumuh, tempatnya di  Jakarta Pusat pada periode saat kami melakukan pemberdayaan pada akhir 1990 sampai dengan 2006. Di pemukiman ini kekerasan terhadap anak dan istri dirasakan sebagai kelaziman, padahal sejatinya adalah kezaliman. Anak-anak selalu dipukuli, ditampar, disundut rokok, tidak diberi makan dan berbagai kekerasan lain. Pelaku kekerasan pada umumnya adalah bapak si anak.

Berbagai akibat buruk seperti cedera, terluka, lari dari rumah pastilah terjadi. Karena kekerasan itu terjadi secara rutin, akibat buruk memengaruhi sifat dan perilaku anak-anak itu. Mereka terbiasa dengan kekerasan dan melakukan kekerasan pada teman sebaya atau pada anak yang lebih kecil. Terbentuklah siklus kekerasan. Sejumlah anak menjadi tidak percaya diri, ada pula yang semakin garang.

Setiap kali seorang anak dipukuli orang tuanya, para tetangga bukannya mengingatkan si orang tua dan menolong si anak, malah ramai-ramai menonton, seperti menonton topeng monyet. Mereka meyakini memukul anak adalah urusan rumah tangga masing-masing. Merupakan tindakan terlarang mencampuri urusan rumah tangga orang lain. Begitulah keyakinan nyaris semua orang di situ.

Kekerasan yang bertubi-tubi benar-benar telah merusak anak-anak. Ada seorang remaja yang sejak kecil merasakan kekerasan dari bapakya, namun tampaknya ia mampu melampauinya dengan baik. Bapaknya bekerja sebagai satpam di sebuah pabrik. Ia sangat keras pada satu-satunya anak lelakinya.

Sebagai seorang bapak ia sangat menginginkan anaknya bisa tamat STM. Untuk memastikan anaknya tetap sekolah ia bekerja sangat keras. Di pemukiman itu sebagian besar anak sudah keluar dari sekolah sejak sekolah dasar. Sangat jarang yang melanjutkan ke SMP, nyaris tidak ada yang lebih tinggi dari SMP. Anak lelaki ini sudah STM. Satu-satunya anak di pemukiman kumuh ini yang pendidikannya setinggi itu.

Sejak kecil jika berbuat salah, ia pasti digebukin bapaknya. Bapaknya telah menghabiskan banyak rotan pemukul kasur untuk menghajar si anak. Si anak mengakui bahwa ia kadang memang  mengikuti kebiasaan buruk anak-anak di pemukiman itu seperti merokok dan berjudi. Ia bahkan pernah menenggak alkohol saat SD. Sebagai akibatnya ia sering dibantai bapaknya. Apalagi jika ketahuan tidak membuat pekerjaan rumah yang ditugaskan guru, ia pasti dibantai habis-habisan.

Kadang ia dipukuli oleh bapaknya tanpa sebab sama sekali. Ini terjadi karena bapaknya pulang pagi dalam keadaan mabok. Ia tahu bapaknya  suka mabok dan berjudi. Namun, ibunya sangat sayang padanya dan selalu meyakinkannya bahwa sikap bapaknya itu tak lain untuk kebaikannya, agar ia bisa tamat STM dan tidak jadi orang susah seperti bapaknya.

Petuah ibunya itu memperkuat tekadnya untuk menamatkan pendidikan di STM. Setiap kali bapaknya memukul, betapa pun sakitnya, ia selalu ingat petuah ibunya. Semua ini dilakukan bapaknya agar ia tamat STM. Akhirnya ia tamat STM. Benar bapaknya, ia mendapat pekerjaan yang bagus.

Setelah sukses, ia mengurusi bapak, ibu dan adik perempuannya dengan baik. Ia sangat lembut pada anak-anaknya. Siapa pun yang kini mengenalnya, pasti tidak percaya bahwa ia dibesarkan dengan cara yang mengerikan dengan kekerasan terus menerus. Ia berhasil melampaui seluruh perlakuan buruk bapaknya dan lingkungan.

Manusia memang bisa mengatasi pengaruh buruk lingkungan fisik dan sosiokultural yang melingkunginya. Manusia bisa melampaui apapun pengaruh buruk yang pernah dialaminya. Manusia dengan kemampuan di atas rata-rata selalu merasa, kejadian yang dialami adalah penting, tetapi yang lebih penting dan menentukan adalah bagaimana kita memaknai kejadian yang dialami.

Si anak hidup di pemukiman kumuh yang dipenuhi dengan kekerasan dan mengalami sendiri betapa menyakitkan dan menghinakan kekerasan itu. Namun berkat petuah ibunya yang empatis memaknai kekerasan yang dirasakannya sebagai cara bapaknya untuk memastikan hidupnya harus lebih baik daripada bapaknya. Ia mampu mengatasi pengaruh buruk kekerasan itu secara positif. Itulah manusia terpilih.

Cerita-cerita di atas menunjuktegaskan bahwa lingkungan fisik dan sosiokultural memang sangat memengaruhi otak, baik saat tumbuh kembang otak maupun kala kita hidup dalam kekinian menjalani keseharian. Tetapi jangan dikira, manusia pemilik otak tidak dapat mengatasi pengaruh itu dan mengendalikan otak.

Pengendalian otak dapat dilakukan oleh pikiran. Jika dianalogikan dengan sangat hati-hati otak dan pikiran seperti perangkat keras dan lunak dalam sistem komputer. Otak adalah perangkat keras dan pikiran adalah perangkat lunak. Meskipun analogi ini tidak selalu tepat, setidaknya dapat menggambarkan hubungan otak dan pikiran.

Pikiran yang diolah dan 'diproduksi' oleh otak dapat secara bermakna memengaruhi otak. James Borg dalam Kekuatan Pikiran: Ubah Pola Pikir Anda, Ubah Hidup Anda (2015) menegaskan bahwa tindakan  'berpikir' bisa mengubah otak. Sebab setiap pikiran menghasilkan aktivitas elektrokimia di dalam otak. Fakta ini merupakan keniscayaan karena tubuh manusia terdiri dari dua elemen yaitu sistem saraf (elektris) dan sistem endokrin (kimiawi).

Dalam kaitan ini sangat menarik untuk memerhatikan apa yang terjadi dalam dunia kedokteran. Pada 2009 tiga peneliti yaitu Elizabeth H. Blackburn, Carol W. Greider, dan Jack W. Szostak dianugerahi Nobel Kedokteran berkat penemuan yang tergolong luar biasa dengan judul penelitian “Bagaimana Kromosom Dilindungi oleh Telomer dan Enzim Telomerase”.

Mereka meneliti kromoson. Kromoson adalah zat pembangun tubuh manusia. Manusia tumbuh kembang dan terjaga berkat kemampuan kromoson membelah diri secara terus menerus. Namun kromoson bisa kehilangan kemampuan untuk membelah diri. Jika itu terjadi akan membawa pengaruh negatif pada manusia. Mengganggu pertumbuhannya dan menyebabkan penyakit. Mengapa kromoson kehilangan kemampuan untuk membelah diri.

Ketiga peneliti itu menemukan bahwa di ujung kromoson ada telomer yang menjaga kromoson tetap utuh dan mampu membelah diri. Bila telomer rusak maka rusaklah kromoson, dan kehilangan kemampuan untuk membelah diri.

Apa yang meyebabkan telomer rusak? Tentu banyak kemungkinannya. Namun perusak utamanya adalah stres. Stres merupakan gangguan psikis yang berpusat di otak yaitu dalam sistem limbik.  Temuan pemenang Hadiah Nobel ini membuktikan betapa kondisi pikiran bisa memberi pengaruh luar biasa terhadap tubuh dan organ manusia.

Penelitian-penelitian mutakhir bahkan bisa memastika bahwa penyebab utama banyak penyakit, khususnya yang sangat berbahaya seperti penyakit jantung dan stroke adalah pikiran. Caroline Leaf yang bukunya telah dikutip di atas menegaskan (2009:5)

Research shows that around 87% illnesses can be attributed to our thought life, and approximately 13% to diet, genetics and environment. Studies conclusively link more chronic diseases (also known as lifestyle diseases) to an epidemic to toxic emotions in our culture.

Kita jadi mengerti sekarang mengapa para penderita penyakit yng tergolong berbahaya seperti darah tinggi, gangguan jantung, dan diabetes akan lebih cepat memburuk kesehatannya bila mengalami gangguan pikiran seperti marah, kesal dan stres, dibandingkan memakan makanan yang disarankan untuk dihindari atau sebaiknya tidak dikonsumsi. Pemulihannya juga begitu. Bila mereka sakit karena makanan lebih mudah dipulihkan dibanding jika disebabkan beban pikiran.

Dalam kaitan dengan kebenaran penelitian di atas, ada pengalaman pribadi dengan ayah dan ayahnya ayah saya atau atok yang pernah ditulis dengan judul Manusia Itu Unik. Berikut sebagian dari tulisan tersebut,

Ayahku pernah menjadi tentara, tetapi tidak terlalu lama pada zaman revolusi. Ia lebih memilih menjadi orang sipil. Ia sangat malas berolah raga meski sangat mengilai nonton sepak bola. Sampai akhir hayat di kamarnya ada poster Barcelona, Arsenal, Manchester United dan Messi. Is menonton semua siarang langsung sepak bola, pun kompetisi dalam negeri. Akibatnya ia sangat sering begadang.

Ia perokok berat. Ia menghisap beragam rokok, dan juga melinting rokok sendiri dari bermacam-macam merek tembakau, serta doyan banget cerutu. Tabungan dan penghasilannya paling banyak digunakan membeli tembakau, cerutu dan macam-macam jenis kopi. Karena ia campuran Aceh-Pacitan, lahir dan besar di Aceh ia sangat tergantung pada kopi Aceh dan kopi Luwak. Ia meminum kopi tiga kali sehari dengan gelas besar. Kopinya sangat kental. Bila begadang nonton bola, pastilah jatah rokok dan kopinya bertambah-tambah.

Ia paling suka makan durian dan mangga. Buah lain ia makan sekadarnya. Bila menikmati durian benar-benar sangat banyak. Aku sampai ngap melihatnya menikmati durian.

Seperti kebanyakan orang Aceh, ia penggemar berat daging kambing. Sampai umur delapan puluh delapan, menjelang wafatnya ia masih minta sate dan kare kambing. Ia sama sekali tidak percaya bahwa daging kambing bisa mengakibatkan darah tinggi dan penyakit lainnya. Tegas ia katakan, jika daging kambing itu benar-benar memiliki efek yang buruk, pastilah sudah banyak orang Aceh, Madura, dan Arab yang mati karenanya. Buktinya tidak.

Abahku sangat pandai memasak. Namun, bila ia memasak gulai atau kare, sungguh santannya kental sekali. Lebih kental dari santan untuk kolak. Jika santannya kurang kental, ia enggan menikmatinya.

Ia memakan dengan lahap semua jeroan. Ia penggemar soto babat yang berisi paru-paru dan jeroan lain.  Bila memasak tauco harus ada terong, udang dan cumi. Bila makan di restoran padang pasti ia memakan gulai otak sapi dan rendang. Ia sama sekali tidak perduli dengan semua akibat buruk dari makanan-makanan yang mengandung kolesterol tinggi.

Gaya hidup abahku masuk kategori sangat buruk jika menggunakan pendapat dan teori para pakar kesehatan. Makanan dan minuman sama sekali tidak terjaga dan tidak pernah olahraga. Justru di sinilah keunikannya.

Ayahku sangat jarang sakit. Jika sakit paling-paling flu dan pusing-pusing. Ia aktif bekerja sebagai pengusaha kerajinan dari berbagai daerah sampai usia delapan puluh tiga. Ia berhenti karena kupaksa. Setelah itu ia berkebun.

Sampai wafatnya pada usia delapan puluh delapan tahun ia tidak pikun, tidak menderita penyakit berat seperti jantung, gangguan paru atau ginjal. Boleh jadi karena fakta itu ia terlihat sangat percaya diri dengan gaya hidupnya itu.

Saat pamanku, adik ibuku, yang hidupnya sangat teratur, rajin olah raga, tidak merokok dan menjaga makanan, wafat pada usia enam puluh, abahku di depan para pelayat berkomentar. Coba kalo dia merokok, mungkin umurnya lebih panjang. Boleh jadi maksudnya berseloroh atau bercanda. Tetapi bersamaan dengan itu, ia sedang membenarkan gaya hidupnya.

Sebenarnya ayah abahku yaitu atokku lebih dahsyat lagi. Sampai wafat ia tidak pernah dirawat di rumah sakit. Tidak pernah sakit yang tergolong berat. Pada usia sekitar sembilan puluh lima tahun ia kena katarak. Dokter tidak berani memgambil tindakan. Ia wafat saat usianya melampaui seratus tahun, tidak mengalami sakit sama sekali. Atokku tidak pikun. Jika bertemu ia sangat semangat berbincang tentang Maradona. Ia wafat setelah shalat subuh, masih di sajadah.

Ia perokok berat, senang kambing dan jeroan, tidak pernah olah raga dan penggila udang gala atau lobster dan durian. Ia penyirih atau makan sirih, setiap hari menguyah kunyit dan jahe mentah. Mandi jam empat pagi dan pukul empat sore apapun keadaannya. Ia sama sekali tidak percaya pada obat buatan pabrik. Ia seratus persen herbalis.

Bila dikaitkan dengan hasil penelitian tentang 87% penyebab penyakit adalah kondisi pikiran, boleh jadi ayahku tetap sehat dan berumur relatif panjang karena kondisi pikirannya. Ia sangat rajin beribadah, seingatku selama aku masih kecil ia nyaris tak pernah memarahiku apalagi membentak. Bila aku melakukan kesalahan ia mengajakku jalan-jalan kadang berjalan kaki atau naik sepeda. Ia menagajakku berbincang tentang kejadian yang berisi kesalahanku. Tidak pernah ia secara langsung menyalahkanku dan melarang ini itu.

Teman-teman SMA dan kuliahku sering berkumpul dengannya. Apalagi jika banyak tugas. Banyak di antara teman kuliahku se kampus, bukan sejurusan mengerjakan tugas di tempat ayahku, yaitu sebuah toko di Pasar Seni Jaya Ancol. Ayahku memasak untuk mereka. Semua temanku sangat suka dengan kopi buatannya. Sungguh ia sangat terbuka, suka menolong, penggembira, tak pernah ku dengar dia mengeluh. Aku sama sekali tidak pernah tahu bagaimana tampilan bila ayahku marah.

Walaupun kebiasaan makan, merokok, dan istirahatnya tergolong sangat tidak bagus bila dilihat dari gaya hidup sehat, namun kondisi pikiran dan emosinya yang positif, antara lain terlihat dari semangatnya untuk peduli dan berbagi, selalu gembira dan nyaris tak pernah bisa dikendalikan rasa marah merupakan penyebab ayahku sehat, gembira dan menjalani hidup dengan bahagia dan penuh makna. Ia secara rutin melakukan perjalanan ke banyak tempat seperti Aceh, Medan, Bandung dan Surabaya untuk bertemu dengan teman-teman lama terutama saat masih tentara.

Kondisi kesehatan ayahku mulai menurun. Penyebabnya adalah kondisi-kondisi pikiran dan emosi negatif. Teman-teman seangkatannya satu-satu wafat. Ia merasa semakin sendirian, karena ibuku telah mendahulinya juga. Kejadian yang sangat menghancurkannya adalah Tsunami Aceh. Seluruh keluarga intinya menjadi korban. Hanya beberapa yang ditemukan mayatnya. Sejak itu ayahku seperti pohon besar yang akarnya digerogoti tikus. Ia mulai menunjukkan tanda-tanda tidak lagi sesegar, segembira dan sesehat dulu. Akhirnya pada usia delapan puluh delapan tahun ia berpulang, pada hari dan tanggal yang sama dengan Olga berpulang. Cerita ayahku adalah bukti kecil betapa kondisi-kondisi pikiran dan emosi sangat memengaruhi kemanusian secara keseluruhan, tentu saja tubuh termasuk di dalamnya.

Tampaknya apa yang dialami ayah dan atokku sesuai dengan apa yang ditemukan dan dijelaskan oleh Shigeo Haruyama yang menjelaskan dalam bukunya The Miracle of Endorphin: Sehat Mudah dengan Hormon Kebahagiaan (2011) bahwa pikiran kitalah yang menentukan kita sehat atau sakit. Hormon kebahagiaan mencegah penyakit. Hormon kebahagiaan memiliki efek bagaikan tuas yang meningkatkan energi.
Hormon kebahagiaan pastilah berhubungan langsung dengan otak. Bukan sekadar proses biologis yang sepenuhnya bersifat mekanis dan hanya terjadi di dalam organ-organ tubuh yang terpisah dari aktivitas otak.

Earl Henslin dalam bukunya Inilah Otak Anda Ketika Bahagia:Sebuah Program Revolusioner untuk Menyelarasakan Suasana Hati, Memulihkan Kesehatan Otak dan Memelihara Pertumbuhan Rohani (2009) menguraikan, harus diusahakan sejumlah aktivitas yang meningkatkan sukacita Anda ke otak Anda yaitu memperkaya dunia luar yang bermakna menciptakan lingkungan yang gembira dan merangsang otak, memperkaya dunia batin yaitu memberi makan pikiran/pikiran dan jiwa dengan pikiran-pikiran yang baik, dan memperkaya kimia kimia-pikiran, berupa makanan dan menggerakkan otot-otot. Bila hal itu terpenuhi otak merasa bahagia dam mampu memicu kesehatan tubuh dan rohani. Kenyamanan, kebahagiaan, optimisme, dan kebermaknaan hidup akan sangat dirasakan. Kita akan memiliki dorongan untuk selalu membantu siapa pun dalam semangat kebersamaan. Semuanya akan berujung pada kepenuhan dan kebermaknaan rohani.

Maknanya pikiran yang tercerahkan memang mampu menyehatkan dan membahagiakan. Pikiran dan otak memang tak mungkin dipisahkan. Namun pikiran bisa melampui otak yang bersifat fisik biologis dan kimiawi. Sedangkan pikiran lebih bersifat psikis.

Adi W. Gunawan dalam The Miracle Of Mind Body Medicine: How To Use Your Mind For Better Health (2012:201-21) menguraikan bahwa tubuh fisik hanyalah manifestasi dari pikiran yang bekerja jauh lebih halus dan seringkali tidak disadari. Lebih lengkap Adi W. Gunawan menguraikan,

Penelitian yang dilakukan secara mendalam mengenai hubungan pikiran, emosi, dan tubuh menemukan bahwa:

. Pikiran dan tubuh saling terhubung dan saling memengaruhi. Bagaimana kita merasa secara emosi dapat menentukan bagaimana kita merasa secara fisik.

. Emosi tertentu mengakibatkan pelepasan hormon tertentu di tubuh fisik yang dapat memicu terjadinya berbagai macam penyakit fisik.

. Para peneliti telah secara langsung dan ilmiah menghubungkan emosi dengan hipertensi, penyakit kardiovaskukar, dan penyakit yang berhubungan dengan sisten kekebalan tubuh. Penelitian juga menemukan korelasi yang signifikan antara emosi, dan infeksi, alergi, dan penyakit autoimun.

. Secara khusus, penelitian telah menghubungkan emosi seperti depresi dengan meningkatnya risiko kanker dan penyakit jantung.

Uraian di atas menegaskan bagaimana kekuatan pikiran dan emosi yang berpusat di otak memengaruhi tubuh, bahkan kemanusiaan kita. Pikiran positif mampu memengaruhi tubuh menjadi sehat segar, bahkan menjadi faktor penting untuk penyembuhan.

Tentu saja proses bagaimana pengaruh itu terjadi pastilah sangat kompleks melibatkan semua organ dengan fungsi masing-masing. Bila mengunakan bahasa teknis melibatkan dimensi bilogi, fisika, energi dan kimia dalam tubuh kita. Karena berbagai proses yang terjadi itu memang melibatkan energi listrik, hormon dan enzim, dan terjadi dalam semua organ secara sinergis.

Dalam Emotional Alchemy: How Your Mind Can Heal Your Heart (2003), Tara Bennet-Goleman menguraikan bagaimana tradisi meditasi dan tradisi-taradisi lain yang telah ribuan tahun dipraktikkan di Timur memberikan pengaruh sangat positif bagi tubuh, manusia dan kehidupan. Tradisi-tradisi itu memampukan manusia untuk melakukan pengelolaan terhadap pikiran dan emosinya dengan sangat terukur dan baik. Kemampuan mengelola pikiran dan emosi adalah akar bagi kehidupan yang sehat, bugar, dan bermakna. Bahkan kemampuan mengelola pikiran dan emosi bisa menularkan pencerahan positif pada lingkungan sekitar. Inilah bukti betapa pikiran dan emosi positif dapat memberikan pengaruh positif secara tidak terbatas.

Norman Doidge dalam The Brain's Way of Healing: Remarkable Discoveries and Recorveries From the Frontiers of Neuroplasticity (2016) menguraikan tradisi Timur telah sangat lama digunakan dan berkembang, sudah terbukti kemanfaatannya bagi jutaan manusia sejak dahuku kala. Namun di Barat, tradisi ini baru dikenal. Tetapi kini semakin populer dan banyak digunakan karena terbukti sangat bermakna dan efektif membantu manusia untuk mengelola pikiran dan emosi yang secara langsung memengaruhi kesehatan, kebugaran tubuh dan kebermaknaan hidup.

Sangat menarik, Norman Doidge mengaitkan tradisi Timur seperti yoga dan meditasi dengan plastisitas otak. Praktik-praktik tradisi Timur terbukti memiliki kemampuan untuk menjaga, menyegarkan, dan meningkatkan secara sistematis kinerja otak. Menyegarkan itu termasuk terus menerus membuat otak 'awet muda'. Dalam kaitan inilah tradisi Timur terkait sangat erat dengan plastisitas otak, yaitu kemampuan otak untuk terus berubah.

Sister Dang Nghiem dalam buku Mindfulness As Medicine (2015), dan Thic Nhat Hanh dalam buku Mindful Movements: Ten Exercises For Well Being (2008) menunjukkan bagaimana pemikiran yang terlatih dengan meditasi dan yoga memiliki kekuatan yang dapat memengaruhi tubuh dengan sangat bermakna. Pikiran yang terlatih bahkan dapat secara efektif menyembuhkan penyakit-penyakit yang spesifik. Jadi bukan saja menyehatsegarkan tubuh secara keseluruhan, juga menjaga kebugaran otak agar tetap sehat segar.

Penjelasan-penjelasan di atas sekaligus menggunakan istilah pikiran, emosi dan tubuh. Cara ungkap ini menunjukkan bahwa ketiganya merupakan keutuhan yang bisa dibedakan tetapi tidak dapat dipisahkan. Dulu emosi memang dianggap sebagai lawan dari rasio dan diyakini tidak berpusat di otak.

Penelitian-penelitian terbaru menegaskan bahwa emosi juga berpusat dan dikelola di dalam otak pada sistem limbik. Emosi secara simbolis disebut sebagai bahan bakar bagi pikiran. Tentu saja sebagai bahan bakar, emosi bisa ikut  memicu dan memacu serta menggerakkan pikiran, juga bisa membakarhanguskannya. Goleman yang terkenal dengan bukunya Kecerdasan Emosional bahkan menegaskan emosi bisa membajak pikiran.

Pikiran memang memegang peran penting dalam kehidupan manusia. Dengan dan melalui pikiran manusia membuat keputusan, memaknai hidup, kebebasan, dan keberadaannya. Pikiran yang tidak bisa sepenuhnya dipisahkan dari emosi ternyata sangat kuat memengaruhi tubuh dan manusia secara keseluruhan.

Pikiran dan emosi memengaruhi bahkan mengarahkan manusia sepanjang hidupnya. Pengaruh itu bisa positif atau negatif. Seringkali pengaruh itu langsung dirasakan oleh tubuh.

Semua manusia pernah mengalami kondisi saat pikiran dan emosi 'menghancurkannya', memberi pengaruh luar biasa pada tubuh. Kita sudah belajar dengan tekun, amat keras dan fokus untuk menghadapi ujian yang sangat penting bagi karir dan hidup. Pada pagi hari menjelang ujian si doi atau sang kekasih mengirim WA bahwa ia mengakhiri hubungan yang telah dibina sangat lama. Apakah kita memiliki kemampuan untuk berangkat ujian? Bila pun akhirnya ujian, apakah bisa berkonsentrasi? Rasanya seluruh tubuh lemas tak berdaya dan air mata tercurah deras bagai hujan november. Nangis Bombay kata ABG. Begitupun kala kita jatuh cinta.

Orang yang jatuh cinta biasanya dimabuk kepayang. Mabuk itu menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya dapat kendalikan diri. Istilah jatuh cinta saja sudah menegaskan ketakberdayaan, lemahnya keseimbangan, dan tiadanya kemampuan untuk berpijak. Cinta memberikan pengaruh luar biasa pada manusia.

Apapun bisa dilakukan manusia yang sedang jatuh cinta. Bukan saja tubuhnya yang merasakan macam-macam sensasi dan kejutan karena cinta. Perilaku dan keseluruhan hidupnya bisa berubah sama sekali. Jatuh cinta adalah bukti paling nyata bagaimana pikiran dan emosi mengendalikan manusia dan tubuhnya secara sangat kuat dan 'berasa'.

Daniel G. Amen dalam Brain in Love (2007) menguraikan dengan panjang lebar bagaimana cinta 'menghanyutkan' manusia dan mampu mendorongnya untuk berubah secara sangat luar biasa. Energi cinta mampu membuat manusia bahkan melakukan hal-hal yang tidak terduga.

Emosi dan pikiran tentang cinta yang dihayati amat kuat memengaruhi manusia, tentu dengan kebertubuhannya, sehingga merasakan sensasi-sensasi luar biasa yang acapkali membuatnya merasa bahwa ia manusia yang sama sekali berbeda, menjadi manusia yang lain. Cinta mampu mendorong produksi sejumlah hormon di dalam tubuh yang merupakan respon langsung dan cepat otak atas emosi dan pikiran tentang cinta yang dirasakan. Secara spesifik dalam buku ini disebut sebagai kimia cinta. Kimia cinta bisa merangsang tubuh untuk merasakan sensasi yang sebelumnya kurang dirasakan dan disadari. Juga tentu saja bisa 'meledakkan'. Joel Levy dengan cara yang agak berbeda dan lebih singkat mengungkapkan hal yang sama dalam bukunya Why We Do the Things We Do (2015).

Kondisi-kondisi pikiran memang terbukti memberi pengaruh langsung pada tubuh dan kemanusiaan secara keseluruhan. Dalam konteks itulah bisa dipahami mengapa banyak rumah sakit melakukan perubahan mendasar dalam pelayanan, terutama untuk rawat inap.

Kamar-kamar rawat inap dirancang seperti kamar di rumah atau di hotel. Suasana rumah sakit sedapat mungkin semakin dihilangkan. Khusus untuk anak-anak, kamar rawat inap dirancang dan didekorasi sebagai kamar anak-anak yang penuh warna dan aneka mainan. Termasuk tersedianya film-film kartun dan games. Dengan demikian kondisi-kondisi pikiran dan emosi klien dibuat menjadi menyenangkan dan gembira. Terbukti cara baru ini sangat membantu kesembuhan.

Kesadaran untuk membuat rumah sakit yang menyenangkan bukanlah gagasan baru. Di Mesir pada tahun 1284 Raja Al Mansur Qalawun mendirikan rumah sakit yang sangat besar, indah dan lengkap diberi nama Al Mansuri. Rumah sakit itu dengan sengaja dirancang untuk memberi kenyamanan bagi oara kliennya yang berobat gratis bahkan mendapat semacam pesangon pengganti gaji atau bayaran lain karena tidak dapat bekerja selama mengalami sakit dan harus dirawat.

Jalan masuk ke rumah sakit sengaja didisain dengan sangat indah, tenang dan teduh, agar membuat para klien yang memasuki rumah sakit itu merasa nyaman, tenang tidak merasa takut dan tertekan. Sebelum dibawa ke ruang pemeriksaan para klien akan berhenti sebentar di tempat berdoa yang juga didisain sangat indah dan menyenangankan. Di tempat ini klien hendak diberi keyakinan bahwa Sang Maha Penyembuh adalah Allah, pengobatan adalah bagian dari usaha untuk manusia untuk sembuh, bukan penentu. Kamar-kamar dirancang dengan indah dan menyenangkan. Musik digunakan sebagai bagian dari cara untuk menyembuhkan.

Rumah sakit ini sudah melakukan pendekatan yang pada zaman moderen ini baru saja ditemukan dan dianggap cara paling baik dan mutakhir. Maknanya kondisi-kondisi pikiran termasuk keyakinan adalah penentu yang bisa memengaruhi tubuh dan kemanusiaan kita.

Jill Bolte Taylor seorang ahli neuroanatomi yang telah membantu banyak orang yang bermasalah dengan otak terutama stroke terkena serangan stroke. Dalam My Stroke of Insight: Serangan Stroke Tak Menyurutkan Langkah Jill Menemukan Kecantikan dan Elastisitas Otak untuk Pulih (2009), Jill menceritakan pengalamannya secara rinci untuk sembuh. Tentu saja ia diobati dengan cara-cara standar ilmu kedokteran sebagaimana klien yang lain.

Namun, yang sangat berperan bagi penyembuhannya adalah pikiran positif, semangat dan keyakinan untuk sembuh, terus menerus menumbuhkan emosi positif dan dukungan orang-orang yang mencintainya. Ia sembuh dan kembali normal, padahal serangan stroke yang dialaminya termasuk dalam tingkat yang sangat parah dan mematikan.

Kisah ini meneguhtegaskan bagaimana kekuatan pikiran, emosi dan semangat yang mampu mengatasi kendala-kendala fisik kebertubuhan. Jika dikaitkan dengan hubungan otakmdan pikiran semakin terbukti, meski pikiran itu berpusat dan diolah di dalam otak yang bersifat fisik,mbiologis dan kimiawi, pikiran mampu melampaui otak. Pikiran mampu mengatasi kefisikan otak.

Sejatinya keduanya berbeda, namun tidak dapat dipisahkan. Shigeo Haruyama (2011:30) dalam buku yang telah dikutip di atas menegaskan bahwa jiwa dan raga tak pernah putus berdialog. Otak dan pikiran tak pernah putus berinteraksi dan saling memengaruhi.

Pada masa lalu persoalan otak, pikiran dan tubuh dibahas secara filosofis mengandalkan kekuatan berpikir memanfaatkan logika, refleksi dan tentu saja spekulasi karena belum ada cara yang memungkinkan untuk melongok ke kedalaman otak secara empiris, menggunakan panca indra. Lahirlah berbagai teori yang saling bertentangan. Pastilah yang paling berhadap-hadapan adalah dualisme jiwa-raga, otak tubuh yang dipelopori oleh filsuf besar Rene Descartes dengan lawannya monisme yang antara lain dijelaskan dan dipertahankan oleh Spinoza.

Kemajuan terjadi ketika mulai dilakukan penelitian terhadap manusia yang mengalami gangguan otak. Biasanya yang diteliti adalah otak manusia yang sudah meninggal. Kemudian terjadi revolusi besar ketika ditemukan teknologi pemindai otak yang bisa digunakan untuk melihat dengan cermat dan rinci otak manusia yang masih hidup. Dilakukanlah serangkaian eksperimen untuk menguji berbagai aktivitas yang dilakukan manusia dan melihat apa yang terjadi di dalam otak.

Kini semakin dipahami dan diterima, otak yang merupakan bagian dari kebertubuhan dan bersifat fisik, biologis dan kimiawi serta pikiran dan emosi merupakan kesatuan yang bisa dibedakan, namun tidak dapat dipisahkan. Keduanya saling memengaruhi.

Michael S. Sweeney dalam Brain Works: The Mind-Bending Sciene of How You See, What You Think, and Who Are You (2011) menegaskan keunikan otak manusia yang memiliki banyak fungsi dan mampu membangkitkan kesadaran. Dalam menjalankan fungsinya otak dapat dibedakan dari pikiran, namuntak pernah bisa dipisahkan. Keduanya terus berinterkasi.

Penjelasan panjang di atas dapat memberikan setidaknya dua implikasi bagi pendidikan yaitu implikasi teknis dan filosofis. Implikasi teknis berkaitan dengan bagaimana seharusnya praktik-praktik pendidikan, dan metode-metode pembelajaran dirancang sesuai dengan temuan-temuan mutakhir tentang otak. Sedangkan implikasi filosofis adalah bagaimana merumuskan Pendidikan Indonesia Akar Indonesia yang didasarkan pada tradisi dan budaya yang sejak dulu telah dipraktikkan dan ikut menentukan karakter, sikap, dan perilaku manusia Indonesia. Tentu saja di dalamnya termasuk keyakinan dan filasafat hidup yang secara nyata dihayati dalam kehidupan keseharian. Pastilah seluruh praktik dan penghayatan itu telah melahirkan manusia-manusia Indonesia yang meskipun memiliki sejumlah persamaan dengan manusia lain di seluruh dunia, namun tetap saja berbeda dan unik.

MANUSIA ADALAH KOMPLEKSITAS MULTIDIMENS